Seperti pemuda usia 20an lainnya, mungkin rasa cemburu masih sering menjadi topik hangat ditengah sebuah hubungan. Entah hubungan pertemanan, keluarga atau sepasang kekasih.
Javas menatap jauh pada seseorang yang digadang-gadang adalah kekasihnya, Jergas.
Sejak siang hari lelaki taurus itu tidak bisa dihubungi, tidak juga memberi kabar padanya seperti biasa.
Setelah diselidiki melalui jam tangan yang sengaja dipasang alat pelacak ternyata dia ada di sini. Bersama teman-temannya, nongkrong.
Entah Javas yang terlalu terang-terangkan memperhatikan atau Jergas yang sangat peka akan kehadiran yang lebih muda. Mata lelaki itu sontak membola mendapati keberadaan kekasihnya.
"Javy?!"
Jergas beranjak berdiri dan mengejar Javas yang pergi menjauh dari cafe. Lebih tepatnya menghindari Jergas.
"Hey, kok bisa ada di sini??" Jergas menahan lengan Javas agar tak terus pergi lebih jauh.
Lelaki agustus tak membalas tatap melainkan membuang pandangan ke arah lain. Tatapannya datar namun tajam menusuk.
"Javy, kenapa bisa di sini? Kamu bilang baru pulang besok tapi malah udah sampai begini."
Javas masih enggan menjawab.
"Kamu marah? Aku ada salah apa, sayang?" Jergas yang bertanya tanpa berpikir membuat Javas merasa diremehkan.
Dia sejak pagi sudah menghubungi, mengingatkan kekasihnya untuk tak terlambat pergi bekerja, memperhatikan makannya meski dari jauh.
Sedangkan yang dikhawatirkan justru masih bisa bersantai bercengkrama dengan orang lain.
"Kamu beneran marah? Jelasin kamu marah karna apa biar aku ngerti. Kalo diam gini gimana aku bisa tau salahku dimana." Jergas adalah tipe orang yang kecil rasa pedulinya.
Bukan dalam artian sombong, melainkan teledor.
Dia tidak peduli pada apa yang akan terjadi satu jam, dua jam atau bahkan besok hari. Dia hanya melakukan apa yang menurutnya benar.
Javas menatap sinis pada Jergas, senyum tipis serupa seringai terpatri meski tidak begitu jelas.
"Gue ga sengaja dateng ke sini. Lanjutin aja acara lo, gue mau balik." Javas akan kembali pergi jika saja Jergas tidak menahannya.
"Kamu marah kenapa?! Kok lo gue gitu jadinya. Aku gak ngerti."
Javas menggeleng kemudian memilih melanjutkan jalannya menuju mobil yang terparkir di depan mata.
Sedangkan Jergas menatap nanar kepergian kekasihnya dengan banyak tanda tanya akan kesalahan apa yang sudah Ia perbuat sehingga Javas jadi semarah itu?
Javas memasuki mobil dan mulai menjalankannya meninggalkan kawasan cafe. Tanpa mempedulikan Jergas yang terlihat frustasi dan kebingungan.
Sampai di apartemen, Javas menggeret koper dan menyimpannya di dekat sofa. Dia benar-benar baru pulang sekitar satu jam yang lalu dari perjalanan bisnis selama dua hari.
Tapi bukannya disambut justru Ia disuguhi pemandangan yang sangat malas untuk diingat kembali.
Setelah menenggak sebotol air dingin, Javas memutuskan untuk mandi guna mendinginkan kepala juga pikiran.
Memasuki kamar yang terlihat rapi dan bersih, setidaknya Jergas masih peduli akan kebersihan, pikir Javas.
Belum sempat Ia masuk ke kamar mandi, suara debuman pintu menghentikan langkahnya.
"Javy!!"
Javas menghela nafas lelah, dia masih enggan berbicara dengan Jergas sebab apapun yang akan dijelaskan nanti tidak akan masuk karena pikirannya sedang kacau.
Javas memilih masuk ke dalam kamar mandi dan menguncinya rapat.
"Javy??" Suara ketukan pintu diulang beberapa kali.
"Kamu marah kenapa sih? Harusnya kamu jelasin jangan langsung pergi kaya tadi."
Jergas terus mengetuk pintu kuat-kuat meminta dibukakan.
"Berisik, Jergas!" Tegur Javas.
Jergas yang merasa dibentak menjadi diam. Dia bukanlah anak yang takut akan bentakan, tetapi dia takut karena Javas ternyata benar-benar marah padanya.
Lelaki 23 tahun itu duduk di lantai bersandar pada pintu kamar mandi. Tangannya terlipat menumpu kepala yang kini menunduk dalam.
"Dua hari ini aku kangen banget karna selalu sendirian di rumah. Sepi ga ada kamu. Tapi waktu pulang malah ribut kaya gini." Curhat Jergas dengan air mata yang tak lagi bisa dibendung.
Jergas adalah anak tunggal yang sering ditinggal oleh orang tuanya untuk bekerja.
Maka di kesendiriannya, dia hanya memiliki Javas yang dengan sukarela menemani setiap saat.
Jergas bukan anak yang manja, tapi sesekali Ia akan meminta untuk dimanjakan.
Tentu hanya Javas yang tau sisi manis Jergas. Hanya Javas yang diperbolehkan melihat sisi anak kecil Jergas.
Tidak ada yang mengetahui sifat asli Jergas, karena selama ini dia tutupi dengan sifat angkuh dan sombong.
Tidak dingin dan kaku tetapi menyebalkan.
Berbeda dengan Javas yang memang pendiam, tidak terlalu berinteraksi tanpa konsen yang jelas. Javas juga pemarah.
Tipe marah Javas adalah silent treatment jika pada Jergas.
"Javy.. ayo ngobrol biar semuanya jelas. Aku mau peluk kamu, mau dipangku, mau dicium. Bukan dimarahin.."
Tak lama suara kunci yang diputar terdengar. Jergas langsung bangun dan masuk ke dalam kamar mandi.
Javas yang baru akan ke luar malah terdorong kembali karena pelukan kuat Jergas. "Kangen.."
Bisa Javas dengar suara lelaki sebayanya ini bergetar.
"Kalau ngobrol mau jelasin apa memang?" Tanya Javas seraya menahan senyum.
Pelukan Jergas mengerat. Lelaki taurus itu mengangkat pandangan guna menatap Javas sejajar.
"Kalo ngobrolnya nanti, boleh? Aku mau cium- hmmp??"
Javas langsung melumat bibir tebal sang kekasih. Tak bisa dibantah dia juga rindu dengan Jergas.
"Mau mandi bareng?"
disc. jn as jergas and jm as javas.
thank you for coming and reading~
for support:
https://trakteer.id/tulisan_iyoo©tulisan_Iyo
KAMU SEDANG MEMBACA
TOTALLY YOURS | JAEMJEN
FanfictionTentang Jergas Tirta Yudha dan Javas Evan Kalandra, baca aja.