16

2.5K 249 20
                                    

Pintunya tak mau terbuka. Beberapa kali pun Renjun mencoba memutar kenop, mendorong, mendobrak, bahkan menendang semua hal yang ia lakukan sia sia saja.

Lelaki Huang terjatuh kelantai, wajah begitu putus asa itu renjun sembunyikan dibalik lutut yang ia peluk erat.

Sudah berapa lama ia meninggalkan rumah? Renjun tak menghitung. Selama itu dirinya tak mampu untuk kembali lagi pulang, terkurung tanpa alasan yang tak jelas bersama orang orang yang menakutkan.

Renjun menghela nafas panjang, ia bergumam tak jelas sendirian. Kepalanya tersandar pada pintu, wajah sembab itu mengadah menatap langit langit ruangan.

" aku hanya ingin pergi dari sini, kenapa sesusah itu?-" Renjun berucap disela sela nafasnya yang memburu menahan tangis, ia benturkan kepala bagian belakangnya pada pintu yang ia sandari melampiaskan rasa yang terpendam pada hatinya dan mengabaikan rasa perih yang mulai hadir.

Waktu? Renjun tak memperhatikan lagi hal tersebut.

Ketika matanya terbuka dari pejam, rasa sakit yang kentara mampir dari kepala bagian belakangnya, kulit kepalanya berdenyut keras, tenggorokan serak serta mata yang bengkak penuh perih usai menangis. Renjun memandang sekitar, untuk sesaat ia mengumpulkan kesadarannya. Lelaki Huang itu ingat akan kejadian beberapa saat lalu yang ia lakukan dan berakhir tertidur karena kelelahan menangis.

Renjun berusaha bangkit dari atas lantai yang dingin, kakinya kaku begitu nyeri digerakkan. Jika tidak bertumpu pada tembok dengan cepat sudah dipastikan tubuhnya akan jatuh menghantam lantai. Perlahan Renjun berjalan menuju kasur yang ada disudut ruangan, di ujung kasur ia terduduk memandang kebawah.

Renjun menelan ludahnya sendiri susah payah, lelaki Huang kembali sesak mengingat ia hanya bisa pasrah dan selalu mengharapkan lelaki bermarga Na memberikan kemurahan hati agar membebaskan dirinya, namun kenyataan tidak semudah itu.

"A-aku hanya ingin pulang," gumam Renjun tanpa suara, bahkan saat menangis hanya air mata saja yang keluar dari mata sipit itu.

Renjun menahan nafas kemudian menutup mulutnya, kepalanya menoleh segera pada lubang kecil yang merupakan ventilasi udara yang ada di ruangan yang ia pijak. Renjun menghapus air matanya, ia menajamkan pendengaran memastikan suara samar yang datang.

Sunyi tak ada apapun. Renjun menjatuhkan tangannya keudara, lelaki Maret itu berpikir yang ia dengar hanyalah angin lalu saja atau halusinasi semata padahal nyatanya tidak. Ketika Renjun terdiam merutuki dirinya yang berhalusinasi saat itu sebuah kertas yang telah diremas hingga membentuk bola padat datang melewati ventilasi kamarnya.

Renjun mengambil cepat benda padat itu lalu membuka kertas yang tak lagi mulus, disana tertulis;

Kau ingin keluar dari tempat ini kan? Maka bersiap siaplah, esok malam akan ada orang datang membantumu. -MJ

Ada banyak pertanyaan dibenak Renjun yang muncul, siapa?, mengapa?dan apa tujuannya?. Jantung Renjun berdetak cepat, keputusan apa yang harus ia perbuat. Menerima atau mengabaikan?

Semuanya menjadi beban pikiran bagi Renjun hingga sampai beberapa jam berikutnya ia masih memikirkan hal apa yang harus ia perbuat mengenai pesan dari surat yang ia terima.

"Sedang memikirkan apa?"

Pertanyaan barusan membuyarkan lamunan Renjun yang sedang duduk berhadapan bersama seorang lelaki bermarga Na. Mata sipit Renjun menelisik sekelilingnya, ia baru sadar jika sedang bersama Jaemin.

"T-tidak ada," jawab Renjun gugup.

Jaemin tak bodoh untuk tak menyadari ada hal yang mengganggu pikiran Renjun, lelaki Leo itu terdiam sesaat kemudian mengangguk mengiyakan.

"Jika begitu makan makananmu" perintah Jaemin pada Renjun yang langsung menurut.

Rasa makanan yang tak enak, itulah yang Renjun rasakan ketika mengunyah makanan yang ada didepannya. Padahal makanan yang dibawa Jaemin normal seperti makanan pada umumnya tapi entah mengapa rasanya Renjun ingin muntah, ini disebabkan oleh kepalanya yang berpikir terlalu keras. Renjun menahan rasa ingin muntah nya tetapi semakin ditahan rasanya tak bisa berhenti, ingatan masa lalunya yang buruk muncul. Ketakutan Renjun mampir, terbayang olehnya jika Jaemin akan menginjak tubuhnya seperti dahulu kala karena berpikir dirinya tak menghargai makanan yang telah diberikan.

"Kau tak suka makanannya?"

Renjun menggeleng dengan mulut yang terkatup sebisa mungkin ia menelan makanan yang ada, air mata sudah sampai menitik diujung dan ingin membanjiri pipinya tapi sebisa mungkin Renjun menahan semua itu.

Renjun menutup mata ketika tangan besar Jaemin datang,  ia berpikir sebuah pukulan akan mampir di kepalanya namun yang terjadi hanyalah usapan halus di rahangnya.

" Habiskan makananmu lalu tidur"

Suasana canggung, mendebarkan, dan takut hanya itu yang bisa Renjun rasakan saat ini. Mata sipit itu tak berani menatap lama sosok yang duduk disampingnya.

"Pintu akan tetap aku kunci, jadi berhenti mendobrak atau melakukan apapun. Karena hal itu percuma saja. Tak akan ada jalan keluar untuk dirimu" ucap Jaemin yang sibuk memberikan usapan pada punggung Renjun, setelahnya Jaemin meninggalkan sosok itu sendiri dibalik pintu yang terkunci.

Renjun tak bisa tidur semenjak surat yang ia terima datang. Mata lelaki itu menatap langit langit kamar dengan tangan yang meremas tangannya.

Malam sudah larut dihari berikutnya, lagi Renjun tak bisa menjemput alam mimpi. Darahnya berdesir ketika suara ketukan pelan hadir diruang sunyi ini. Mungkinkah?.

Renjun bangkit dari tidurnya, jantungnya berdebar tak karuan, ia menegak ludah lalu cepat menuju pintu. Renjun tau yang datang mengetuk pintu bukanlah Jaemin.

Renjun mematung didepan pintu yang terkunci itu, jantungnya tak karuan hingga suara kenop yang diputar terdengar dan pintu terbuka separuh. Sebuah tangan terlihat dan langsung menutup mulutnya, suara orang itu menenangkan keterkejutannya lalu menuntun tubuh mungil Renjun untuk berjalan di setiap lorong ruangan.

"Kau-" suara Renjun tertahan, matanya menatap lebar sosok lelaki putih yang menatapnya.Wajah itu begitu asing bagi Renjun.

Angin malam yang datang memecah atmosfer dua orang berbeda tinggi itu.

" Jalan kearah Utara bersih, berlari dan ikuti jalan ini" perintahnya menatap Renjun .

"Bagaimana denganmu?" Tanya Renjun.

" Cepat!" Dorong lelaki itu pada Renjun.

Renjun mengangguk paham, dalam gelapnya malam tanpa penerangan ia berbalik dan berlari kearah jalan yang dimaksud. Tepat saat itu juga suara tembakan terdengar, ketakutan Renjun kembali datang bersama air mata yang luruh dengan isak yang berantakan. Sebisa mungkin Renjun berlari tanpa menoleh kebelakang.

SIM CARD | JAEMREN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang