Bab 48 (Aku Memilikimu)

747 80 15
                                    

Di ruangan serba putih, seorang namja tengah setia duduk menemani sosok yang tengah terlelap di atas ranjang pesakitan. Tangan kekarnya terus menggenggam tangan mungil di depannya. Mengusapnya lembut sesekali menciumnya.

Hatinya begitu bahagia, senyum tidak pernah pudar dari wajahnya, mengingat perkataan dokter bahwa Jimin-nya tengah mengandung. Bibir tipisnya terus menggumamkan kata bangun dan terimakasih pada sosok mungil yang masih memejamkan matanya.

Satu tangannya ia bawa mendekat pada wajah manis itu. Mengusap lembut pipinya berharap sosok itu segera sadar. Ia hanya ingin mengungkapkan rasa terimakasih pada sosok mungil itu.

"Terimakasih, sayang. Aku sungguh mencintaimu," gumamnya yang sedikitnya mengusik sosok tersebut.

Kelopak mata tersebut perlahan terbuka, menampakkan manik cokelat yang menatap teduh padanya. Menimbulkan senyum lebar yang semakin lebar. Hatinya menghangat hingga relung terdalam.

Wajahnya ia bawa mendekat, mengecup kening Jimin sedikit lama. Setelahnya, menjauhkan sedikit wajahnya. "Kau sudah bangun? Ada yang sakit? Mau hyeong panggilkan dokter? Perutmu baik-baik saja?" Pertanyaan bertubi yang Yoongi berikan, nyatanya hanya satu pertanyaan yang membuat jantung Jimin berdebar hebat.

Tentang perut yang saat ini terdengar begitu sensitif bagi Jimin. Bukannya apa-apa, ia tidak masalah jika ada yang mengatakan bila perutnya tidak bagus, alias buncit. Namun, bagaimana jika seseorang tahu tentang kehamilannya, ia tidak mau hal itu terjadi.

Mengangguk kaku, ia masih belum bisa menjawab semua pertanyaan Yoongi.

"Hey, sayang. Kenapa diam? Kepalanya pusing? Perutmu sakit?" Lagi, Jimin rasanya benar-benar takut jika Yoongi tahu tentang kehamilannya.

"A-aku baik-baik saja, hyeong," jawabnya pelan. "Aku haus," ucapnya sembari mengalihkan perhatian.

Yoongi segera mengambil air yang berada di atas nakas, memberikannya pada Jimin. Sedikit membantu Jimin untuk duduk dengan benar dan membantunya meminumkan air tersebut. Meletakkannya kembali saat air di gelas itu tandas.

Ia mendudukkan bokongnya pada ranjang Jimin. Menggenggam erat tangan mungil itu tanpa mengalihkan pandangannya pada Jimin. Sedangkan Jimin, hanya mampu diam. Hatinya tidak tenang, pikirannya berkecamuk memikirkan apakah Yoongi tahu tentang yang ia sembunyikan selama ini.

"Sayang, kau hamil? Maksudku, kau benar-benar tengah mengandung?" Jujur saja, Yoongi sebenarnya masih tidak percaya jika Jimin bisa mengandung. Jimin itu namja, bagaimana bisa ia mengandung.

Hati Jimin mencelos, Yoongi-nya sudah tahu. Dari nada bicaranya seperti Yoongi tidak mempercayainya. Lalu, untuk apa Yoongi masih bersamanya. Bukannya seharusnya Yoongi pergi meninggalkannya.

Jimin diam, menundukkan kepalanya, bayangan ia memiliki hidup yang bahagia bersama Yoongi dan mochi sepertinya akan sia-sia. Sepertinya Yoongi tidak akan menerima anaknya. Maniknya berkaca, sebentar lagi akan jatuh dalam satu kedipan mata.

"Jika hyeong tidak bisa menerimanya tidak apa-apa, hyeong. Aku berniat untuk membesarkan walaupun hanya aku dan anak ini saja, kami berdua." Suaranya terdengar lirih sedikit gemetar. Sekuat tenaga Jimin menahan untuk tidak menangis. Tangannya meremas kain selimut yang ia pakai.

Ia tidak masalah jika Yoongi akan pergi setelah ini, bahkan jika Yoongi tidak mengakui bahwa ia mengandung anaknya pun Jimin akan terima. Karena, sulit untuk mempercayai seorang namja yang bisa mengandung.

Tubuh Yoongi mendekat, merengkuh Jimin erat untuk menenangkan namja mungil itu. Tangan kekarnya mengelus surai belakang Jimin.

"Hey, kenapa bilang begitu? Hm? Aku justru bahagia mendengarmu hamil. Rasanya aku mendapatkan hadiah luar biasa di hari kelulusanku beberapa hari lalu." Nada bicara Yoongi begitu lembut tanpa ada emosi sedikitpun. Ia tahu benar jika seseorang yang tengah mengandung itu begitu sensitif. Dokter menyarankan dirinya untuk menjaga mood Jimin dengan baik, karena akan berpengaruh pada janin yang dikandung Jimin.

Because, I Love You [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang