Langit di luar pekat menghitam, bukan sebab mendung yang belum terurai, tapi petang memang telah berangsur-angsur bertandang. Bahkan, kini hampir satu jam dan Maula yang tadi terpaksa menerima tawaran Mas Linggar untuk mengantarnya pulang ke tempat Mama belum juga bisa bergerak keluar dari area Kebayoran. Tak hanya air yang mulai aktif tinggi menggenang di ruas-ruas jalan, mobil-mobil yang keluar bersamaan dari parkiran di jam pulang kantor membuat lajur aspal seakaan menyempit dalam seketika.
Tak terhitung deh berapa kali udah Maula mengintipi layar gelap ponselnya yang anehnya tak lagi dihubungi oleh Mama.
Lalu, bicara soal Mama, tadi sewaktu beliau memintanya untuk segera datang ke rumah, entah mengapa nada suaranya terkesan aneh. Mama adalah tipikal ibu-ibu yang santai, meski nggak se-extream Maula, tetapi beliau cukup senang bercanda. Malahan, setiap kali ngomong tuh selalu seolah ada senyum yang ikut tumbuh dalam suara Mama Asmita. Saking ramah serta bubbly-nya beliau. Namun, apa yang Maula dengar dari permintaan Mama tadi benar-benar tak terasa sama seperti normalnya Mama ketika bercakap-cakap. Kayak mendadak ada sekat. Seakan beliau nih sedang menahan sesuatu yang nggak enak.
Tetapi, apa kira-kira sesuatu itu?
Maula masih terus memilin-milin resah tali sling bag yang melintang di sepanjang dada hingga pinggangnya. Lengkap dengan pikiran berkecamuk. Mulai menerka-nerka mengenai apa gerangan yang udah bikin Mama berubah jadi manusia yang mendadak kelewat serius. Akan tetapi, mau seberapa lama pun dia menimbang rasa-rasanya hanya ada satu masalah sih yang mampu membuat Mama berubah sedrastis itu.
Ya, tentu. Ini mungkin bakal terkesan jika Maula sedang ber-negative-thinking. Tapi, apa lagi coba kalau itu bukan tentang rahasia yang Maula dan Rikas punya?
Namun, mungkinkah Mama udah tahu?
Maula tak mengerti apa saja yang terjadi dan sukses dia lewatkan di saat dia larut melamun sampai Mas Linggar yang sejak mulai mengemudikan mobilnya meninggalkan pelataran Kafe Saturnus tak sepatah kata pun bersuara, akhirnya memanggil-manggilnya lirih dan waswas, "Maula? Hei, Maula?"
Perempuan itu spontan mengerjap-ngerjap untuk menemukan sosok Mas Linggar yang telah mencopot seat belt tengah mengibas-ngibaskan ringan telapak tangan di depan wajahnya.
"Mau turun sekarang?" tanyanya kemudian seusai Maula menunjukan reaksi bahwa dia udah sepenuhnya tersadar dari kegiatan berkhayalnya.
Sementara itu, Maula sendiri memang berhenti melamun, tapi dia lalu sibuk celingak-celinguk. Merasa heran dan bingung. Karena, tak tampak lagi kendaraan-kendaraan lain yang tadi berbaris baik di depan, samping, maupun belakang mobil yang mereka tumpangi. Bahkan, udah nggak di jalanan tengah kota yang sumpek, saat ini mereka telah berhenti di bahu jalan yang tepat di depannya ada terlihat sewujud pagar besi hitam dengan ornamen-ornamen vintage yang amat Maula kenali.
Oh, iyalah!
Itu rumah Mama. Tempat Maula berpuluh-puluh tahun lamanya pergi dan kembali. Mereka ... sudah sampai ternyata.
Otomatis menghela napasnya panjang-panjang, Maula juga menyempatkan guna menyugar seluruh wajahnya melalui dua tangan. Berharap dengan begitu kewarasannya yang sempat tercerai-berai di sepanjang jalan dapat kembali menyatu.
"Are you okay?" Di balik kemudi Mas Linggar yang mungkin memerhatikan semua gerak-gerik itu dengan hati-hati coba mengeluarkan tanya.
And, ya, actually, she is not. Maula masih merasakan ketegangan yang nyata hingga darah yang mengalir di nadinya bak tersendat dan bikin dia kebas di mana-mana.
Namun, dibanding mengakuinya, Maula justru memilih menyulam rapat-rapat bibirnya. Melalui mata yang samar bergulir ke mana pun asal nggak membalasi tatapan Mas Linggar, dia sejenak menangkap bila di luar hujan masih turun cukup lebat. Suara tabrakan airnya dengan atap mobil bahkan rembes terdengar. Belum juga menerobos, Maula merasa dinginnya air telah bernacang-ancang guna menjilati kulitnya dengan ganas. Hanya dengan memikirkan ini, bulu-bulu kuduk di sekitar belakang lehernya bahkan spontan bangun terlalu dini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepantasnya Usai ( Selesai )
General FictionWhy do people get married? Atau .... Why did she want to marry him? Maula bahkan harusnya ngerasa trauma kan? Dia udah dua kali loh menghadiri acara pesta pernikahan yang digelar mantannya. Namun, dalam kesadaran penuh dia toh tetap memilih berakhir...