Irvian sempat tercenung selama beberapa saat setelah membuka pintu kamar. Dia ingat sekali kalau sudah sebulan belakangan ini, Anaya, istrinya, mendesaknya untuk menemani pergi ke Medan. Irvian sadar kalau selama dua setengah tahun pernikahan mereka, Anaya hanya sempat pulang menemui keluarganya di Medan tak lebih dari tiga kali. Wajar kalau Anaya merasa rindu dan ingin sekali pergi ke sana.
Namun, pekerjaan Irvian tidak semudah itu untuk ditinggalkan. Penolakan yang Irvian berikan sempat menciptakan perselisihan kecil diantara mereka. Anaya yang selama ini selalu mengalah dan menerima semua keputusannya mulai menunjukkan pemberontakan. Hal itu baru mereda setelah Irvian berjanji bahwa pada hari raya tahun berikutnya mereka akan menghabiskan waktu di Medan. Selain itu, sebagai gantinya, Anaya juga mengajukan permintaan untuk pergi liburan sendirian.
Mulanya, Irvian merasa setengah hati saat memberi izin. Namun, melihat raut bahagia yang terpancar di wajah Anaya seusai liburannya, Irvian mulai menyadari bahwa ia tidak salah mengambil keputusan. Hubungan mereka membaik seperti sedia kala dan masalah mereka terlupakan.
Hanya saja, kenapa tiba-tiba Anaya mengemasi lagi pakaiannya ke dalam koper?
"Aku mau pulang ke Medan sebentar," Anaya menjawab kebingungan Irvian. Sikapnya masih terlampau santai, berbanding terbalik dengan Irvian yang mulai mengerasakan raut wajahnya. Dia bahkan tetap lanjut memasukkan helai demi helai pakaiannya ke dalam koper. Tak peduli meski setelah ini Irvian akan mengamuk.
"Ann, kita udah sepakat tentang hal itu," ujar Irvian dengan suara rendahnya. "Kerjaanku masih padat. Aku nggak bisa pergi mendadak gini."
"Nggak apa-apa. Aku emang mau pergi sendiri kok," lagi-lagi Anaya menjawab dengan santai.
Irvian menghela napas kasar. Selama seminggu dia tidak bertemu dengan Anaya yang berlibur ke Yogyakarta. Seminggu berikutnya pertemuan mereka sangat minim karena Irvian selalu pulang pagi. Hari ini dia menyempatkan pulang lebih awal dibandingkan hari-hari sebelumnya, tetapi Anaya justru ingin memulai pertengkaran.
"Emang ada apa di Medan sampai kamu nggak bisa sabar sebentar lagi?" Irvian melempar jas ke atas ranjang dan mulai melucuti kancing kemejanya. Sebelum keadaan memanas, dia merasa perlu buru-buru mendinginkan tubuh dengan air. Setelahnya, dia baru akan membicarakan hal ini secara baik-baik.
"Nggak ada apa-apa, aku cuma merasa harus pulang."
Jawaban Anaya menimbulkan kerutan samar di dahi Irvian. Bersamaan dengan kemeja birunya yang terlepas dan menyisakan kaus dalaman, Irvian mendengar suara roda koper yang beradu dengan lantai. Saat menoleh, ia mendapati Anaya telah menutup satu koper dan hendak mengisi koper lainnya.
"Anaya," Irvian mendekati Anaya dengan dada yang mulai terasa penuh. "Kamu baru pulang seminggu yang lalu," geramnya tidak tahan.
Kali ini, kalimat Irvian menghentikan gerakan Anaya. Perempuan itu berdiri menghadap Irvian. Menatap tanpa rasa takut meski ada kilatan amarah yang terpancar dari mata Irvian.
"Kamu mau pergi berapa lama lagi sampai bawa barang sebanyak itu?"
"Nggak tahu," Anaya mengedikkan bahu. "Kalau udah waktunya... aku pasti balik ke sini."
Ada hening yang menjeda setelah kalimat itu terucap. Irvian menatap lekat Anaya, mencari kesungguhan dibalik jawaban yang baru saja ia dengar. "Kapan berangkat?" tanyanya kemudian.
"Besok. Flight pagi," Anaya bisa melihat raut terkejut yang tergambar di wajah Irvian meski hanya sekilas. Dalam waktu singkat, laki-laki itu sudah kembali menetralkan ekspresinya. "Sebelum subuh udah harus berangkat ke airport, jadi aku nggak bisa siapin sarapan."
Sejujurnya, Irvian tidak suka dengan tindakan Anaya yang seenaknya. Kalau ujungnya tetap bersikeras pergi ke Medan untuk apa liburan ke Yogyakarta kemarin? Akan tetapi, jika dia mengutarakannya dengan jujur, perdebatan tidak dapat dihindarkan. Irvian benar-benar muak jika harus berada dalam situasi itu lagi.
"Tapi aku udah kasih pesan ke Mbok Ning buat urus keperluan Mas. Semuanya."
Irvian menghela napas pendek. "Oke," ucapnya kemudian.
"Oke?" Anaya menaikkan alisnya atas jawaban singkat Irvian, terlebih laki-laki itu tiba-tiba berlalu ke sudut ruangan. Irvian melepas kaosnya, memasukkan ke dalam keranjang pakaian kotor di dekat pintu kamar mandi.
Reaksi tersebut membuat Anaya mendengus pelan karena Irvian terkesan menyepelekan. Namun, laki-laki itu sepertinya mendengar hingga memutuskan untuk balik badan dan menatapnya kembali.
"Aku capek, Ann. Akhir-akhir ini kita terlalu banyak berselisih," keluhan Irvian bukan suatu hal yang ia buat-buat. "Kalau kamu berpikir kita masih butuh waktu buat sendiri-sendiri, aku kasih kamu izin buat pergi ke Medan."
Anaya yang dulu akan merasa kecewa, tapi sekarang dia berupaya menahan perasaannya. Anaya akan belajar menerimanya, karena setelah ini... dia akan sama-sama acuh seperti halnya Irvian.
"Kabarin kalau kamu mau pulang, biar aku yang jemput," kalimat itu menjadi akhir sebelum Irvian membuka pintu kamar mandi dan menghilang di baliknya.
Saat itu, Irvian terlalu percaya diri bahwa dengan sikap mengalahnya, mereka tidak akan bertengkar seperti sebelumnya. Tidak akan ada permasalahan seperti yang lalu dan semuanya akan baik-baik saja seperti biasanya.
Minggu pertama setelah Anaya pergi, Irvian menjalani rutinitas seperti biasanya. Tidak ada perbedaan yang jauh meski dia terpisah dengan Anaya. Namun, pada minggu kedua, dia mulai merasakan sebuah kekosongan di hidupnya. Irvian mulai menanyakan kapan Anaya akan pulang, tetapi perempuan itu selalu memiliki jawaban yang tidak pasti.
Jika hidupnya diibaratkan sebagai susunan puzzle, Irvian merasa bahwa pada minggu ketiga, ia telah kehilangan lebih banyak kepingnya. Namun, setelah berkali-kali mendesak Anaya, akhirnya dia mendapatkan jawaban yang dia inginkan. Senyumnya mengembang sempurna meski harus menunggu beberapa hari lagi untuk bertatap muka dengan istrinya.
Akan tetapi, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.
Irvian masih ingat betul malam itu dia sedang duduk di sofa ruang keluarga. Dia baru saja pulang kerja, masih mengenakan kemeja kerja berwarna abu yang dibelikan Anaya terakhir kali. Punggungnya bersandar di sofa dan kepalanya menengadah ke atas.
Adanya void di ruangan itu membuatnya dapat melihat area lantai dua. Lalu, dia mendapati Anaya dengan gaun rumahan tengah berdiri di dekat pembatas dan tersenyum padanya. Mata Irvian mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya memilih untuk memejam. Ah, sepertinya dia terlalu merindukan Anaya hingga terbayang sosoknya.
Entah berapa lama Irvian bertahan dalam posisi itu. Dirinya mungkin akan kebablasan tidur jika saja Mbok Ning tidak menghampirinya. Perempuan paruh baya itu datang dengan raut gelisah dan sebuah amplop di genggaman tangannya.
"Mas Irvian, maaf, tadi ada yang datang antar surat," katanya sembari mengulurkan surat tersebut.
"Surat apa, Mbok?" Irvian menerimanya tanpa curiga.
"Anu, itu..."
Irvian membalik surat tersebut ke bagian muka. Dia mencoba mencari tahu pengirimnya sembari melontarkan tanya kembali, "Buat saya atau buat—"
Suara Irvian lenyap. Pertanyaannya tertahan begitu membaca deretan kata yang tertera disana.
Lima hari lagi. Irvian selalu mengitung semenjak Anaya mengabarkan tanggal kepulangannya. Hanya tersisa lima hari lagi hingga ia bisa bertatapan muka langsung dengan Anaya. Namun, dengan adanya hal ini, Irvian mulai bertanya-tanya dimanakah mereka akan berjumpa lagi.
Bandara, sesuai dengan rencanaya untuk menjemput Anaya? Rumah, karena Irvian tidak yakin Anaya setuju dengan rencananya? Ataukah... pengadilan, karena tiba-tiba saja Anaya menggugatnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Next Episode
RomanceIrvian memiliki dunianya sendiri dan bisa hidup tanpa Anaya. Ketika menyadarinya, Anaya meyakinkan diri kalau dia juga mampu melakukan hal yang sama. Ketukan palu pengadilan menjadi pertanda bahwa mereka akan memulai hidup masing-masing di jalan yan...