Selama hidupnya, Anaya sering merasa sendirian. Mulanya, ia ditinggalkan oleh ibu kandungnya ketika usianya baru menginjak lima tahun. Anaya tidak tahu secara pasti apa alasan yang mendasari keputusan ibunya tersebut. Beberapa orang mengatakan bahwa ibunya masih terlalu muda untuk berkeluarga dan masih ingin menikmati kehidupannya sendiri. Namun, yang jelas mulai saat itu Anaya harus melanjutkan hidup hanya dengan ayahnya.
Mungkin karena pada saat itu dia masih terlalu kecil untuk mengerti, Anaya tidak merasakan adanya perubahan besar. Sesekali dia akan menanyakan keberadaan ibunya kemudian melupakan rasa ingin tahunya setelah sang ayah memberikan sebuah alasan. Makin lama Anaya makin terbiasa dengan kondisi barunya tersebut. Toh, kasih sayang tetap dia dapatkan secara penuh meski hanya dari sang ayah.
Akan tetapi, kehidupannya kembali berubah setelah ayahnya menikah lagi. Anaya tidak tahu mengapa Rumi yang berwajah lembut terlihat tidak menyukainya. Rumi memang tidak pernah bertindak kasar, tetapi sebuah jarak yang dia ciptakan membuat Anaya merasa tersisihkan.
Sikap timpang sang ayah semakin terlihat nyata semenjak Rumi dinyatakan tengah mengandung. Anaya semakin tidak diperhatikan, dia kerap merasa kesepian. Hal itulah yang membuatnya kerap merengek ingin ikut pergi kala Irma datang mengunjunginya. Sekali dua kali permintaannya tidak dituruti hingga tiba-tiba Irma mendatanginya sendiri.
"Anaya mau ikut Tante?" saat itu Irma mengucapkannya sembari mengusap lembut puncak kepala Anaya dan memandangnya dengan tatapan teduh.
Irma bukannya tidak tahu mengenai perlakukan kakaknya terhadap Anaya yang mulai berbeda. Namun, dia merasa tidak berhak jika seenak hati mengambil hak asuh Anaya. Irma masih menunggu barangkali keadaan semakin membaik, tetapi karena hal yang ia harapkan tidak ada tanda-tanda akan datang dalam waktu dekat, Irma memutuskan untuk mengambil tindakan.
Tidak mudah untuk dia lakukan memang. Irma harus membujuk sang kakak berkali-kali bahkan terlibat perdebatan yang cukup alot hingga detik-detik terakhir dirinya membawa Anaya.
Pindah dari Surabaya ke Medan untuk tinggal bersama keluarga tantenya secara perlahan menghadirkan rasa bahagia di hati Anaya. Tidak ada satupun dari mereka yang memperlakukannya berbeda. Semuanya terlihat menyayanginya dengan tulus. Di sana, Anaya merasakan kembali hangatnya sebuah keluarga.
Namun, Anaya tidak akan menampik bahwa ada kalanya dia tetap merasa sendirian. Ada masa-masa tertentu dimana dia merasa tengah berdiri di lingkaran yang berbeda dengan para sepupunya. Jika mengibaratkan hidup seperti sebuah film bertajuk keluarga harmonis, posisi Anaya bukanlah pemeran melainkan penontonnya saja. Puncak dari rasa itu adalah ketika ayahnya meninggal dunia. Anaya benar-benar merasa ditinggal sendirian di dunia ini.
Seiring berjalannya waktu, Anaya mulai menyadari bahwa dia ditinggal sendirian memanglah sebuah fakta, tetapi terjebak dalam rasa itu hingga memicu kesedihan tak berujung bukanlah suatu hal yang benar. Karena usianya sudah cukup dewasa, Anaya akhirnya memutuskan untuk tinggal terpisah dengan Tante Irma menggunakan dalih melanjutkan pendidikan. Tidak ada yang tahu bahwa keputusannya itu memiliki tujuan ganda.
Anaya menggunakan kesempatan itu untuk berdamai dengan kesendiriannya. Mencoba membiasakan diri untuk berdiri di atas kakinya sendiri. Menguatkan hati bahwa tak peduli sebanyak apapun orang yang ada di sekitarnya, pada akhirnya ada saat dimana dia hanya bisa percaya dan mengandalkan dirinya sendiri.
Hal-hal tersebut Anaya jadikan pedoman hidup. Lambat laun dia semakin terbiasa untuk memeluk dirinya sendiri. Tertawa atas kebahagiaan dengan diri sendiri, menangis karena hal menyedihkan dengan diri sendiri. Anaya tidak pernah membaginya dengan orang lain karena dirinya memang tidak memiliki siapapun bukan?
Semuanya masih terasa demikian sebelum akhirnya dia bertemu dengan seseorang bernama Irvian Tarendra.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Next Episode
RomanceIrvian memiliki dunianya sendiri dan bisa hidup tanpa Anaya. Ketika menyadarinya, Anaya meyakinkan diri kalau dia juga mampu melakukan hal yang sama. Ketukan palu pengadilan menjadi pertanda bahwa mereka akan memulai hidup masing-masing di jalan yan...