9. Kepingan Puzzle

542 33 0
                                    

"Papa ngerasa nggak kalau akhir-akhir ini rumah kita suasananya jadi positif sekali?" Nilam berkata pada Fadi yang kala itu tengah menabur pakan ke kolam ikan koi mereka.

Fadi memang tidak langsung menanggapi. Dia masih berdiam di tepi kolam mengamati ikan-ikannya dengan dua tangan saling bertautan di punggung. Namun, Nilam tahu bahwa Fadi masih mendengarkan ucapannya tanpa satu katapun yang terlewat. Oleh karena itu, Nilam masih melanjutkan ucapannya.

"Shani dan Vian auranya kelihatan banget kalau baru dilimpahi kebahagiaan," Nilam menjeda sebentar untuk menyesap teh rendah gulanya. "Vian memang nggak se-ekspresif Shani, tapi kelihatan kok gimana dia jadi... lebih hidup. Mama ngerasa kalau belakangan ini Vian punya tujuan baru di hidupnya, bukan cuma sekedar menghabiskan waktu buat kerja."

"Shani kan baru excited sama persiapan pernikahan. Belum nemu pusingnya aja makanya kelihatan sesenang itu," Fadi mengurai tautan tangannya. Sambil melangkah mendekat ke arah Nilam yang duduk di kursi, dia menyambung kalimatnya. "Apalagi Emir kelihatan banget mau mewujudkan wedding dream Shani. Kurang senang apa lagi dia."

"Shani memang gampang kebaca sih, Pa. Dia juga nggak perlu ditanya bisa langsung cerita banyak hal," Nilam mulai memaparkan perbedaan sifat kedua anaknya. "Makanya Mama lebih penasaran sama Vian. Dia itu susah ditebak. Sampai sekarang aja Mama masih belum tahu apa yang bikin dia berubah."

"Rumahnya udah kejual kali," Fadi terdengar asal-asalan ketika menimpali. Namun, meski begitu dia pikir alasan itulah yang paling masuk akal. "Terakhir ngobrol sama Papa katanya ada beberapa orang yang mulai tanya-tanya."

"Belum ah, Pa. Kemarin waktu minta Mama transfer bonus buat Pak Mukhtar sama Mbak Lastri, Mama pikir juga udah ada pembeli yang cocok. Nggak tahunya Vian cuma bilang 'lagi pengen aja, Ma' begitu," Nilam mematahkan dugaan Fadi.

Fadi meraih secangkir teh yang Nilam siapkan untuknya. Dia mulai menyesap pelan sambil berpikir keras seperti halnya Nilam. Dahinya bahkan sampai berkerut karena saking seriusnya. "Apa karena temannya itu ya, Ma?"

"Teman yang mana?"

Fadi lebih dulu meletakkan cangkirnya. "Mama ingat nggak waktu Shani kecelakaan, Irvian pulang larut karena tinggal lebih lama di rumah sakit?" tanyanya kemudian. "Vian bilang dia ketemu teman lamanya."

"Siapa sih, Pa? Kebetulan banget gitu bisa ketemu?" Nilam sungguh merasa penasaran akan hal itu. "Kalau ujung-ujungnya sama temannya lagi percuma dong selama ini Mama kenalin dia ke anak temen Mama?"

"Ya, Papa juga nggak tahu," Fadi mengedikkan bahunya. "Kalau memang takdirnya begitu ya gimana lagi."

Setelahnya, pasangan yang sudah puluhan tahun menikah itu sama-sama terdiam dengan pikiran masing-masing.

Pasca bercerai, Irvian memang tidak pernah membahas perihal hatinya; apakah dia sudah bergerak maju atau masih berdiam di masa lalunya. Irvian tidak pernah menolak ketika Nilam mulai mengenalkannya dengan beberapa perempuan, tapi tidak juga menyambut salah satu dari mereka.

Jika seseorang memang telah berhasil menggerakkan hati Irvian, siapakah orang itu? Nilam dan Fadi masih mencari petunjuk dalam kesunyian. Namun, terpecah begitu saja ketika sebuah seruan masuk di indera pendengaran mereka.

"Kok pada bengong aja sih?" Shanika tahu-tahu sudah bergabung. Setelan kerja yang melekat di badan dan tas yang masih dia tenteng sudah menjelaskan bahwa dia baru pulang dan langsung berbelok kemari, bukan ke kamarnya dulu. "Mikirin apa sampai serius begitu?"

"Pulang sama siapa, Shan?" Fadi mengabaikan pertanyaan anak bungsunya. Matanya sempat melirik ke arah sliding door, mencari tahu apakah ada sosok lain yang menyusul langkah Shanika. Namun, karena tidak melihat keberadaan calon menantunya, dia menyampaikan pertanyaan keduanya, "Nggak dijemput Emir ya?"

Next EpisodeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang