Anaya masih terus mengarahkan kedua tangannya ke keran sehingga air terus mengalir membasahi kulit kendati gelembung-gelembung sabun telah sirna seluruhnya. Tidak heran jika orang-orang akan menatapnya aneh karena ia terus bergeming sejak tadi. Namun, dibalik keterdiamannya itu, ada kilasan-kilasan memori yang terus berputar di kepalanya seperti sebuah kaset yang disetel berulang-ulang.
"Shanika yang nabrak Kama."
"Sebagai perwakilan dari pihak keluarga, aku meminta maaf atas kejadian itu."
"Kami akan bertanggung jawab sepenuhnya atas segala kerugian yang kalian alami."
Empat tahun berlalu. Anaya tahu sudah empat tahun berlalu semenjak palu pengadilan memutus ikatan pernikahan mereka. Satu tahun masa pendekatan. Dua setengah tahun masa pernikahan. Waktu perpisahan mereka bahkan lebih lama dibandingkan waktu kebersamaan mereka. Oleh karena itu, Anaya seharusnya bisa memahami kalau menjadi asing bukanlah suatu hal yang sulit bagi mereka.
Anaya menganggukkan kepala. Sikap canggung dan kaku Irvian bukanlah suatu hal yang boleh ia permasalahkan. Kendati pernah berbagi berbagai macam hal bahkan hal paling intim sekalipun, tidak mengubah kenyataan bahwa kini tidak ada hubungan apapun di antara mereka berdua. Kini, waktunya Anaya menghadapi versi baru dari Irvian.
***
"Jadi, sekarang kalian tinggal bareng di Jakarta?" Irvian menyempatkan untuk mengobrol dengan Kama. Beberapa saat yang lalu Anaya berpamitan ke toilet hingga kini hanya tinggal mereka berdua saja di sana.
"Iya. Kebetulan aku kuliah di sini dan Kak Nay juga dapet kerjaan di sini," Kama menjawab pertanyaan Irvian dengan jujur.
Sebenarnya dia merasa canggung karena tidak begitu mengenal sosok Irvian dengan baik. Selama lelaki itu menikah dengan kakaknya, selain saat pernikahan mereka berdua, Kama rasa dia hanya bertemu dengan Irvian sebanyak dua atau tiga kali saja. Jangankan bertemu langsung, bertukar kabar saja jarang dilakukan.
"Mama kamu sendirian di Tasikmalaya?" Irvian ingat Anaya pernah bercerita bahwa semenjak ayahnya meninggal, adik dan ibu tirinya tidak lagi tinggal di Surabaya. Mereka pindah ke kampung halaman sang ibu tiri yaitu di Tasikmalaya. Sementara Anaya tetap ikut Tante Irma di Medan.
Kama menarik kedua sudut bibirnya dengan kaku. "Mamaku udah meninggal," dia merasa tidak enak hati ketika mengucapkannya. Dulu, Irvian memang tidak diberitahu tentang kabar tersebut. "Udah dari dua tahun yang lalu."
Irvian terkejut ketika mendengarnya. "Oh, maaf," ujarnya kemudian. Merasa tidak enak hati juga karena tidak mengetahui hal tersebut. "Kayaknya ini terlalu terlambat, tapi Mas turut berduka cita atas kepergian mama, ya, Kam. Maaf karena baru tahu kabar itu."
Kama hanya mengangguk pelan.
Selama beberapa saat, tidak ada yang membuka mulut kembali. Mereka terdiam dengan penuh perasaan canggung. Kama menyayangkan mengapa Anaya meninggalkannya sendirian dengan Irvian, tetapi dia paham kalau situasi ini memang terlalu mengejutkan untuk Anaya hadapi.
"Kam, kalau ada apa-apa kamu bisa hubungi Mas Vian," lalu Irvian kembali bersuara.
Saat itu Kama kembali mengangguk. Jujur saja dia bosan mendengar kalimat semacam itu. Irvian sudah mengatakannya tadi, belum lagi Emir dan Shanika.
"Lagian ini juga udah nggak apa-apa kok, Mas. Memar gini paling beberapa hari ke depan udah hilang," Kama memperjelas kembali keadaannya. Dia pun yakin tidak apa pulang sekarang tanpa perlu menjalani serangkaian tes seperti yang Emir sarankan. "Cuma itu deh, Mas... maaf kalau nggak sopan dan terkesan menuntut, tapi mobilnya..." Kama meringis ketika mengatakannya, tapi bagaimana lagi. "Punya Kak Nay soalnya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Next Episode
RomanceIrvian memiliki dunianya sendiri dan bisa hidup tanpa Anaya. Ketika menyadarinya, Anaya meyakinkan diri kalau dia juga mampu melakukan hal yang sama. Ketukan palu pengadilan menjadi pertanda bahwa mereka akan memulai hidup masing-masing di jalan yan...