5. Dering Telepon

652 52 0
                                    

"Ya gitu pokoknya."

Mulanya Kama tidak memiliki rasa takut sama sekali. Setelah mengambil mobil mereka dari bengkel, Kama menjelaskan dengan enteng bahwa seluruh biaya perbaikan telah diselesaikan oleh Irvian. Anaya memang tidak menanggapi dengan kemarahan seperti dugaan Kama selama ini, tetapi helaan napas panjang dan keterdiaman yang perempuan itu berikan nyatanya mampu membalikkan perasaan Kama.

Hingga hari telah berganti, Anaya masih bertahan mendiaminya. Kama tidak tahan dengan hal itu sehingga memutuskan untuk segera membujuk Anaya. Dia memberikan penjelasan sekali lagi sekaligus mengucapkan permintaan maaf karena telah membohongi sang kakak. Berharap Anaya akan mengerti dan mengakhiri perang dingin mereka.

Akan tetapi, meski Kama telah bicara panjang lebar, Anaya masih belum memberikan respon apapun. Tidak ada tatapan tajam yang diberikan, tidak ada pula bentakan kasar penuh amarah. Namun, situasi itu justru membuat nyali Kama menciut.

"Kak Nay," panggilnya dengan nada takut.

Anaya yang semula memandang lurus ke depan akhirnya menolehkan kepala. Dia bahkan baru membuat kontak mata dengan Kama yang duduk di sofa tunggal, tetapi Kama langsung menundukkan kepala.

Anaya memulainya dengan helaan napas sebelum berkata, "Kakak udah bilang kan jangan minta apapun ke mereka."

"Aku nggak minta," Kama menyangkal sembari menaikkan kembali pandangannya. "Kakak juga denger kan waktu Mas Irvian bilang mau tanggung jawab perihal kecelakaan kemarin."

"Tapi Kakak udah minta kamu buat sampaikan kalau perbaikan mobil nggak perlu, Kam. Biaya rumah sakit udah cukup sebagai bentuk tanggung jawab mereka atas kecelakaan kemarin."

Mendengar hal tersebut membuat Kama menaikkan alisnya. "Tapi walaupun lukaku nggak parah dan mobil kita nggak rusak berat bukan berarti menghilangkan hakku sebagai korban kan?" Kama jelas tidak setuju dengan pemikiran kakaknya. "Belum tentu kalau kemarin yang nabrak aku orang lain dia punya rasa tanggung jawab kayak mereka lho, Kak. Aku nggak minta secara paksa dan mereka nggak keberatan. Bahkan Mas Irvian sendiri bilang kalau ada—"

Kalimat Kama yang dipotong secara tiba-tiba tentu membuat Anaya mengerutkan dahi. "Bilang apa?" desaknya. Sikap Kama yang mengalihkan pandangan dan pura-pura tidak mendengar pertanyaannya justru membuat Anaya semakin menaruh curiga. "Mas Irvian bilang apa sama kamu, Kam?"

"Ya—ya... itu tadi," Kama mencoba menjawab pertanyaan Anaya agar perempuan itu tidak menganggapnya sedang menghindar. Ia juga berupaya tidak menggerakkan jemarinya secara acak di atas lutut karena itu adalah salah satu kebiasaannya ketika merasa tidak tenang. "Itu kan... ya memang kewajiban pihak mereka kan, Kak? Mas Irvian bilang kalau itu udah semestinya yang mereka lakukan."

Mempercayai ucapan Kama bukanlah hal yang Anaya lakukan sedetik setelah adiknya itu menyelesaikan kalimatnya. Anaya masih menaruh curiga dan meyakini ada hal lain yang Kama dan Irvian bicarakan yang tidak disampaikan padanya.

"Kam, kamu masih punya Kakak."

Kama bingung dengan perubahan topik mereka, tetapi masih mendengarkan dengan baik.

"Kalau ada apa-apa kamu bisa bilang ke Kakak."

Kama merasa familiar dengan kalimat itu, masih ingat betul siapa yang mengatakannya, tetapi menyimpan komentarnya dalam hati.

"Jangan bergantung ke orang lain. Sebesar apapun masalahnya, kamu bisa ceritakan hal itu ke Kakak."

Kama mengangguk dengan gerakan pelan.

"Ya udah karena semua udah diurus, jangan lupa buat bilang makasih sama Mas Irvian dan Kak Shanika," Anaya memutuskan untuk menyudahi, tidak ingin perbedaan pendapat antara dirinya dan Kama berlarut-larut. Toh, sudah kejadian juga jadi tidak ada gunanya jika ia terus marah atas keterlibatan Irvian.

Next EpisodeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang