14. Parade Masa Lalu

338 23 10
                                    

Irvian melangkah cepat menuruni tangga, lalu berbelok ke kiri dimana letak dapur berada. Seperti yang dia duga, Anaya memang masih sibuk di sana. Ada tumpukan bahan makanan yang memenuhi kitchen island. Sebagian sudah dimasukkan dalam wadah zip lock dan storage box, sementara sisanya belum dipotong dan dibersihkan.

Anaya memang senang melakukan food preparation. Katanya agar kulkas lebih tertata dan mudah mengambil bahan yang diperlukan ketika dia hendak memasak. Biasanya Anaya melakukannya langsung begitu pulang berbelanja, tetapi karena kemarin sudah terlalu lelah karena habis berkumpul dengan keluarga besar, Anaya baru sempat melakukannya sekarang.

"Ann," Irvian memanggil terlebih dahulu sembari mendekat. Ketika Anaya mengangkat wajahnya, barulah Irvian melanjutkan, "Aku pergi dulu ya."

"Kamu mau kemana, Mas?" dahi Anaya sempat berkerut, tetapi langsung memudar begitu menyadari raket tennis yang Irvian bawa.

"Mike ngajakin tennis. Sebentar aja kok, nggak apa-apa kan?"

"Kan kamu udah janji, Mas, mau nganterin aku beli alat tulis buat anak panti."

Kali ini, giliran Irvian yang mengerutkan dahi. "Sekarang? Kapan aku bilangnya?"

Anaya menghela napas pelan. "Semalem. Aku minta tolong kamu buat anterin, terus sekalian kita mau nonton juga."

Raut bingung masih menghiasi wajah Irvian. Kerutan di dahinya bahkan terlihat semakin jelas. Irvian sudah pasti tidak mengingat pembicaraan semalam. Anaya merasa kecewa, tapi dia maklum juga karena semalam Irvian memang sudah terlihat ngantuk berat ketika dia mengajaknya bicara. Mulutnya terus mengiyakan, tetapi sebenarnya tidak paham dengan apa yang Anaya bicarakan.

"Ann, aku beneran nggak inget sama sekali," ujar lelaki itu kemudian. "Emang kamu nggak pergi sama temen komunitas kamu?"

"Harusnya iya, tapi kemarin adiknya meninggal. Aku nggak mungkin maksain dia buat nemenin kan?"

"Yang lain nggak ada yang bisa nemenin?"

Anaya menggeleng. Untuk menyamarkan perasaannya, dia pun kembali berkutat dengan kegiatannya sebelumnya. Satu persatu wadah zip lock dan storage box mulai dia raih untuk kemudian ditutup rapat.

"Yah, gimana dong? Aku udah janji juga sama Mike dari kemarin."

"Emang dibatalin dulu nggak bisa ya, Mas?"

"Masa dibatalin lagi, Ann? Udah lama aku nggak ketemu temen-temenku. Minggu lalu aja aku nggak jadi pergi karena ada urusan kantor."

Tapi, kamu juga udah lama nggak meluangkan waktu buat pergi berdua sama aku, Mas.

"Atau belinya mau besok aja? Aku temenin abis pulang kerja."

Anaya kembali menghadap ke arah Irvian. "Besok kamu pulang jam berapa?"

Jawaban tidak langsung Irvian berikan. Lelaki itu terdiam sejenak, tampak berpikir. "Aku usahain buat pulang tepat waktu. Gimana?"

Lihat, Irvian saja tidak yakin dengan jawabannya sendiri. Anaya jelas tidak mau bertaruh untuk suatu hal yang tidak pasti. Jadi, dia memutuskan untuk mengalah saja.

"Nggak usah deh, Mas. Aku pergi sendiri aja nanti."

"Beneran?"

Anaya mengusahakan sebuah senyuman, lalu mengangguk yakin.

"Ya udah, kalau gitu aku pergi dulu ya," Irvian berucap, lalu menempatkan sebelah telapak tangannya ke sisi kepala Anaya. Dia maju untuk memangkas jarak hingga mudah baginya untuk mengecup kening Anaya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 31 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Next EpisodeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang