11. Sang Pendongeng

605 43 1
                                    

Ketika Anaya bilang sosok yang menjadi calon pembeli rumah mereka adalah salah satu rekan dari dokter di rumah sakitnya, Irvian pikir orang tersebut juga merupakan salah satu dokter senior. Namun, ketika sosok itu datang, rupanya tebakan Irvian salah besar.

Harris dan Erika merupakan pasangan suami istri yang seusia dengan mereka. Kalaupun ada selisih umur, Irvian yakin tidak dalam jarak yang begitu jauh. Pekerjaan mereka tidak Irvian ketahui, tetapi sepertinya bukan dari kalangan tenaga medis.

"Kebetulan banget saya dan istri memang lagi cari rumah di daerah sini, makanya waktu dikasih tahu Dokter Syarief, kami cepat-cepat cari info lebih lanjut," Harris berkata demikian ketika Irvian dan Anaya menyambut kedatangan mereka.

"Kami langsung tertarik sama rumah ini, padahal selama proses cari rumah, kami selalu beda pendapat," Harris menyambung ucapannya.

Melihat Harris dan Erika yang tampak berbinar-binar dengan bibir yang terus menyunggingkan senyum menunjukkan betapa jatuh hatinya mereka dengan rumah ini. Ekepresi keduanya memperlihatkan rasa antusias bahkan ketika mereka masih berada di carport. Apalagi ketika pintu rumah terbuka dan mereka mulai memasuki area foyer.

Selama menjelajahi rumah, Irvian yang lebih banyak berperan untuk memberikan penjelasan. Dia memaparkan tentang ruangan apa yang sedang mereka pijak disertai dengan berbagai informasi. Dimulai dari fungsi ruangan tersebut hingga beberapa perubahan yang pernah dilakukan untuk mempercantik ruangan.

"Dulu beli rumah jadi ya? Saya pikir bangun dari awal karena design-nya sebagus ini," Erika sempat bertanya disela penjelasan yang Irvian berikan.

"Sebenarnya beli rumah jadi, tapi bisa dibilang kami bangun kembali," lalu, Irvian membalasnya dengan segera. "Rumah ini kami renovasi besar-besaran, mungkin bisa dibilang delapanpuluh persen lebih. Dulu niatnya nggak sebanyak itu, tapi setelah diskusi dengan arsitek, ternyata nggak banyak yang bisa kami pertahankan untuk menyesuaikan preferensi."

"Oh, begitu ya. Tapi arsiteknya kelihatan keren lho ini. Mahal pasti ya."

"Kebetulan arsiteknya masih teman saya sendiri, Pak Harris. Waktu itu belum lama buka biro sendiri, tapi saya sangat puas karena sesuai dengan keinginan," ucap Irvian. "Buat interiornya juga sebagian dibantu teman istri-teman Anaya."

Anaya sempat tersentak kaget ketika Irvian salah bicara. Kepalanya menoleh dengan cepat ke arah lelaki itu hingga pandangan mereka bertemu. Waktu perpisahan mereka sudah cukup lama untuk dilakukannya adaptasi. Seharusnya, mereka tidak lagi salah menyebut status hubungan yang telah berakhir beberapa tahun silam.

"Sebelah kiri area dapur ya, Pak Irvian? Boleh kita lanjut ke sana?"

Ucapan Erika memutus pandangan Anaya dan Irvian. Anaya menggunakan kesempatan itu untuk menghela napas dalam sementara Irvian langsung kembali menarik senyum pada pasangan di hadapannya.

"Boleh, Bu Erika. Mari, bisa lewat sini."

Irvian kembali memimpin di depan, diikuti oleh Harris dan Erika, kemudian Anaya di paling belakang. Obrolan mereka tersambung kembali setibanya di area dapur. Irvian memberi penjelasan secara singkat, meliputi dapur yang terbagi menjadi dua yaitu dapur kotor dan dapur bersih sekaligus penjelasan mengenai ruangan makan yang berhadapan langsung dengan area tersebut.

"Ada tamannya ya di sebelah sini," Erika mengomentari sisi dinding kaca di dekat meja makan. Sebuah taman dengan berbagai tanaman hias menjadi pemandangan utama. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi tampak hijau dan menyegarkan.

"Oh, dulunya ini cuma sekedar bukaan buat sirkulasi udara, tapi karena kelihatan terlalu kosong, akhirnya sekalian dijadikan area hijau," kali ini giliran Anaya yang menjelaskan. Sembari menggeser pintu kaca, dia menambahkan, "Ini juga jadi salah satu akses ke taman belakang."

Next EpisodeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang