"Nay!"
Belum selesai mencerna rasa terkejutnya karena mendapati tamu tidak terduga di depan pagar rumahnya, Anaya masih mendapat serangan lagi berupa pelukan erat dari sosok perempuan di hadapannya. Selama beberapa saat Anaya hanya mematung. Matanya membulat, lidahnya kelu, dan dia tak mampu membalas pelukan bahkan hingga sosok perempuan itu mengurai belitan tangannya.
"Sumpah gue nggak nyangka. Ini beneran lo kan, Nay?" sosok perempuan itu, Anaya mengenalnya dengan nama Greta, menggenggam kedua tangannya. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Anaya bisa menatap wajah Greta lebih lama dan menyadari mata perempuan itu yang berkaca-kaca.
"Lo kemana aja sih? Lama banget nggak ketemu."
"Oh, iya, aku—" kesadaran Anaya belum dia dapat secara penuh hingga ia belum bisa menanggapi dengan benar. Matanya bergerak-gerak memandang tiga sosok di hadapannya secara bergantian. Selain terkejut, dia juga merasa bingung.
"Udah-udah, ini bukan syuting tali kasih, Gre," sosok laki-laki tinggi berambut sepundak memutus tautan tangan Greta dan Anaya. Sebagai gantinya, dia beralih untuk mengulurkan tangan kanan. "Apa kabar, Nay? Sorry, dateng pagi-pagi gini."
Anaya masih bingung dengan situasi yang dia hadapi, tapi perlahan tangannya bergerak membalas jabat tangan Danny. "Baik, Bang. Maaf, tapi kenapa kalian..."
Mengerti dengan kebingungan Anaya, Irvian mulai menjelaskan. "Kama butuh fotografer buat foto produknya, makanya aku saranin dia buat hubungin Greta."
Kemudian, kalimat itu Anaya tanggapi dengan anggukan kepala.
Bisnis kecil-kecilan yang Kama rintis bersama teman-temannya memang sudah lumayan berkembang. Mulanya hanya memasarkan sepatu dengan menggandeng pengrajin lokal, kemudian melebar dengan memproduksi kaos dan jaket kekinian yang didesain sendiri. Kama memang sudah memberitahu bahwa hari ini dia akan pergi untuk pemotretan produk mereka, tapi Anaya tidak tahu kalau teman-teman Irvian yang akan membantu.
Setahunya, Greta dan Irvian memang hobi fotografi. Mereka kerap hunting foto bersama untuk menyalurkan hobi tersebut. Namun, sebatas itu saja. Mereka berdua tidak menjadikan hobi itu sebagai pekerjaan sampingan, apalagi pekerjaan utama. Semua murni untuk kepuasan pribadi dan tidak pernah diperjualbelikan.
"Oh, kalau gitu tunggu aja di dalam," Anaya mempersilakan ketiga tamunya untuk masuk. Dia mengarahkan mereka menuju ruang tamu, lalu mempersilakan untuk duduk. Tidak lupa pula dia memberi jamuan berupa minuman dan makanan ringan.
"Kama ternyata masih siap-siap. Maaf ya malah jadi kalian yang nunggu," Anaya berucap dengan perasaan rikuh.
Saat itu, karena Kama belum bisa menemui tamunya, Anaya sebagai tuan rumah menggantikan posisinya untuk menemani mereka di ruang tamu. Kendati ada perasaan kurang nyaman yang dirasa di hati, tetapi Anaya berusaha untuk tetap menjaga kesopanan dengan menyambut mereka dengan baik.
"Nggak apa-apa, Nay," Greta menimpali. "Justru kami yang minta maaf karena dateng kepagian."
Lalu, Danny juga ikut mengimbuhi, "Iya, Nay, santai aja, biarin Kama siap-siap dulu. Kami malah seneng karena jadi ada kesempatan buat ngobrol sama lo."
"Bener tuh. Mana udah lama banget kan kita nggak ketemu."
Ucapan Greta dan Danny hanya Anaya balas dengan senyum tipis.
Anaya memang mengenal teman-teman Irvian, tapi tidak bisa disebut dekat juga. Mereka semua memperlakukannya dengan baik. Ketika bertemu di suatu tempat pun, entah saat itu Anaya sedang bersama Irvian atau tidak, mereka selalu menyapanya. Namun, mereka tidak pernah dengan sengaja membuat janji temu secara personal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Next Episode
RomansaIrvian memiliki dunianya sendiri dan bisa hidup tanpa Anaya. Ketika menyadarinya, Anaya meyakinkan diri kalau dia juga mampu melakukan hal yang sama. Ketukan palu pengadilan menjadi pertanda bahwa mereka akan memulai hidup masing-masing di jalan yan...