Diusianya yang tak lagi muda, Nilam merasa bersyukur karena diberkahi kesehatan. Beberapa hal memang harus tetap ia perhatikan, tetapi dia tidak dalam kondisi yang mengharuskannya mendapat perawatan khusus. Pola hidup sehat yang kini ia terapkan lebih bertujuan untuk menjaga tubuh rentanya, bukan karena kondisi medis tertentu.
Nilam masih bisa bepergian sendiri tanpa pendamping. Tidak ada kendala apapun dalam memenuhi undangan teman, sehingga siang hari itu dia menyempatkan untuk mendatangi sebuah restoran lokal. Tempat tersebut menyajikan berbagai menu olahan ayam yang dikelola secara turun-temurun. Besan temannya mewarisinya dan tempat tersebut merupakan cabang terbaru yang belum lama diresmikan.
Ketika pertemuan itu dirasa cukup, Nilam memutuskan untuk pulang. Rieta, temannya, menawarkan tumpangan sehingga dia akan ikut bersamanya. Mereka berjalan beriringan ke depan, diselingi dengan topik ringan yang tak ada habisnya.
Pada dasarnya, Rieta memang suka bicara, jadi Nilam lebih banyak mendengarkan. Tentu Nilam akan menyimak dengan baik, tetapi semakin lama suara Rieta semakin mengecil karena fokus Nilam teralihkan.
Penglihatannya memang sudah berkurang, ditambah pula dengan pertemuan terakhir yang sudah begitu lama sehingga Nilam perlu memastikan berulang-ulang mengenai sosok yang dilihatnya. Namun, semakin terkikisnya jarak, Nilam akhirnya yakin dengan dugaannya.
"Anaya?" Nilam memanggil sosok perempuan berbaju abu-abu yang baru saja melakukan transaksi di kasir. Ketika perempuan itu menoleh, dia langsung bergerak mendekat dan melupakan keberadaan Rieta.
Anaya menampakkan raut terkejut, tidak menduga pertemuan ini. Namun, tak lama kemudian dia langsung memberikan senyuman. "Tante Nilam," Anaya meraih tangan kanan Nilam dan menciumnya.
Mendapati keberadaan Rieta yang menyusul dari arah belakang, Anaya turut melakukan hal yang sama. Anaya mengenalnya karena Rieta adalah salah satu teman terdekat Nilam. Rieta juga terhitung cukup sering datang ke rumah mantan mertuanya dan beberapa kali datang di perayaan penting keluarga mereka.
"Ya ampun, Nay. Kamu kemana aja sih?" Rieta tidak langsung melepaskan, ia genggam tangan Anaya dan menepuknya pelan dengan sebelah tangannya yang bebas. "Lama banget lho nggak ketemu. Tante sampai pangling lihatnya."
Anaya tahu dia memiliki kemungkinan untuk bersinggungan dengan keluaraga mantan suaminya ketika memutuskan untuk kembali ke kota ini. Presentase pertemuannya memang kecil, tapi bukan suatu hal yang mustahil. Namun, bertemu dengan mereka dalam rentang waktu yang berdekatan membuatnya bertanya-tanya apakah ini balasan Tuhan karena dirinya menghindar selama empat tahun?
***
"Rumah kamu gimana, Vian?" Nilam menahan Irvian untuk tetap berada di meja makan meski makan malam mereka sudah selesai. "Udah ada yang cocok?"
"Belum ada, Ma. Beberapa udah ada yang lihat langsung ke rumah, tapi belum ada yang cocok."
"Susah memang jual rumah. Zaman sekarang orang mikir-mikir lagi kalau mau beli hunian," Fadi yang masih duduk di kursinya pun menimpali. "Kalau nggak laku juga mending kamu sewain ajalah. Justru bisa jadi passive income kamu itu."
Irvian butuh waktu beberapa saat untuk menjawab lantaran sedang meneguk air minumnya. "Santai sih, Pa. Aku juga nggak buru-buru," ucapnya. "Yang penting beres aja urusannya."
"Komunikasi sama Anaya gimana?" kali ini, kembali Nilam yang menanggapi. Ketika menyuarakan pertanyaan tersebut, diam-diam dia menelisik raut wajah Irvian. Namun, tidak ada reaksi berlebihan. Irvian tetap tenang seperti biasanya. "Lancar kan?"
Irvian mengawali jawaban dengan anggukan kepala. "Sejauh ini nggak ada kendala apapun."
"Emang selama ini langsung sama Anaya? Papa pikir lewat bantuan Irma," Fadi mengernyit sebab dia juga tahu bagaimana sulitnya menghubungi Anaya pasca perceraian. Memang sangat disayangkan mengapa perempuan itu memutus komunikasi padahal sudah berjanji untuk tetap menjaga hubungan baik dengan keluarga mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Next Episode
RomansaIrvian memiliki dunianya sendiri dan bisa hidup tanpa Anaya. Ketika menyadarinya, Anaya meyakinkan diri kalau dia juga mampu melakukan hal yang sama. Ketukan palu pengadilan menjadi pertanda bahwa mereka akan memulai hidup masing-masing di jalan yan...