Jika diamnya Shanika beberapa saat yang lalu karena masih shock dengan peristiwa yang baru saja dialaminya, Emir rasa diamnya Shanika kali ini disebabkan karena hal yang berbeda. Emir tidak tahu secara pasti, tetapi jika boleh menerka, sepertinya hal itu berhubungan dengan Anaya. Dugaan Emir menguat ketika mendapati Shanika sempat meneteskan air mata lagi sebelum mobil yang dia kendarai keluar dari pelataran rumah sakit.
Setelah pertemuan tadi, Emir menyimpulkan kalau mungkin saja ada sebuah jarak tak kasat mata antara Shanika dan mantan kakak iparnya. Emir tidak bisa menebak hal-hal apa saja yang terjadi karena sebelumnya tidak pernah melihat interaksi mereka berdua. Namun, satu hal yang Emir yakini adalah ada sesuatu yang masih mengganjal dan belum terselesaikan dengan baik.
"By, apa menurut kamu Kak Nay bakal maafin aku?"
Emir menoleh sekilas saat Shanika akhirnya mengeluarkan sebuah tanya. Ditengah rasa penasarannya, perempuan itu justru memulai lebih dulu. Emir merasa beruntung karena bisa mengorek sedikit informasi.
"Perkara memaafkan atau nggak sebenarnya bukan hal yang harus kamu pusingkan, By. Ketika kamu menyadari perbuatanmu salah, kamu cukup dengan meminta maaf. Kita nggak bisa mengontrol tindakan orang lain, termasuk dalam hal memaafkan. Jadi, mau diterima atau nggak, yang penting kamu udah menunjukkan niat baikmu."
"Aku takut ada masalah lain yang lebih besar, By."
"Aku nggak bisa menilai Kak Anaya lebih jauh karena baru ketemu hari ini, tapi sekilas melihat sikapnya tadi, aku rasa dia bukan tipe orang yang pendendam," Emir mengungkapkan penilaiannya. "Dia bakal maafin kamu, aku yakin itu," sambungnya kemudian.
Namun, bukannya semakin tenang, Shanika justru terdengar menghela napas panjang. Dia menunduk semakin dalam. Tiba-tiba merasakan penyesalan yang semakin besar.
Tidak adanya balasan membuat Emir sempat melirik ke arah Shanika lagi. Namun, menyadari perempuan itu tengah bergelung dengan pikirannya sendiri membuat Emir mengalah sejenak. Ketika menemukan lampu lalu lintas berwarna merah, barulah dia benar-benar memusatkan perhatian pada Shanika.
"Aku... salah, ya?" pertanyaan Emir membuat Shanika menoleh. "Apa sebelumnya kalian pernah ada masalah yang sulit diselesaikan sampai kamu sekhawatir ini?"
Dua pertanyaan itu dijawab sekaligus dengan gelengan kepala. "Kak Nay bukan tipe orang yang suka terlibat konflik. Dia selalu mengalah dan memilih buat menghindar," ujar Shanika. "Bahkan, By, selama Kak Nay menikah sama Mas Irvian, aku nggak pernah lihat dia marah sampai berapi-api mau sengeselin apapun kelakuan Mas Irvian. Kadang aku sampai bertanya-tanya seluas apa hatinya sampai dia bisa begitu sabar dan tenang ketika menghadapi suatu masalah."
"Jadi, sebenarnya apa yang kamu takutin?" Emir masih belum menemukan titik permasalahan yang mengganggu pikiran Shanika. "Kamu memang bersalah dalam kasus ini, tapi keadaan Kama baik dan kamu nggak lari dari tanggung jawab. Kak Anaya nggak punya alasan apapun untuk menaruh kemarahan atau dendam ke kamu, By."
Shanika tidak langsung menjawab, tetapi justru menundukkan kepala. Bahunya yang bergerak turun seiring helaan napasnya yang terdengar seolah menyatakan bahwa pembicaraan ini terlalu berat untuknya. "Nggak se-simple itu, By," ujarnya kemudian dengan suara yang lirih.
Rasa penasaran Emir memang tidak terpenuhi. Namun, melihat Shanika yang enggan untuk bicara lebih jauh membuatnya memutuskan untuk menyudahi pembicaraan mereka.
***
Ada jarak waktu yang cukup lama ketika pada akhirnya Irvian dan Shanika sampai di rumah. Kedua orangtua mereka memang tidak langsung dikabari mengenai kecelakaan yang menimpa Shanika agar tidak panik. Namun, begitu situasi sudah cukup terkendali, Irvian mengirim pesan kepada ayahnya dan mengatakan bahwa akan menjelaskan lebih lanjut saat pulang nanti.

KAMU SEDANG MEMBACA
Next Episode
RomanceIrvian memiliki dunianya sendiri dan bisa hidup tanpa Anaya. Ketika menyadarinya, Anaya meyakinkan diri kalau dia juga mampu melakukan hal yang sama. Ketukan palu pengadilan menjadi pertanda bahwa mereka akan memulai hidup masing-masing di jalan yan...