11. Monster Diantara Kita

0 0 0
                                    

"Sial!" Hamka kini mendengus kesal, melipat tangannya didepan dada.

Tatapannya benar-benar menggambarkan kekesalannya saat membaca papan jadwal yang tergantung jauh dihadapannya.

Tertera jelas bahwasanya jadwal penerbangan miliknya kembali diundur, dari yang awalnya 30 menit menjadi 2 jam.

Andre, sang supir yang masih duduk disampingnya hanya tertawa pelan.

"Lebih baik minta uangnya kembali saja tuan." Sarannya, namun Hamka menggeleng.

"Pertemuan ini penting Dre! Aku tidak bisa memakai akses darat apapun karena memakan banyak waktu." Ucapnya.

Ya bagaimanapun juga, perjalanan darat menggunakan mobil pribadi dari Pearl Canyon menuju ke Rosalvynna akan memakan waktu kurang lebih 4 jam. Sementara kereta memerlukan sekitar 2 jam.

Itupun ia tak bisa menggunakan transportasi kereta akibat kasus Trieste Line yang merupakan satu-satunya stasiun yang dapat mengakses Kota Rosalvynna.

Andre hanya menghela nafas. "Ya, cukup berharap Wahyu dapat bersabar menunggumu."

"Bukan itu khawatirku." Hamka menatap kosong kearah lantai keramik putih lobi bandara itu.

"Mendengar kabar suatu pembunuhan misterius di Rosalvynna tadi pagi membuatku khawatir akan keselamatannya."

Andre memiringkan kepalanya, tatapannya masih melekat kearah Hamka yang benar-benar terlihat khawatir dan ketakutan akan suatu hal.

"Lalu apa yang kau khawatirkan?" Tanyanya.

Dengan satu hembusan nafas, Hamka pun mendongak untuk menatap kembali kearah depan.

"Pria bayangan itu mungkin ada disana, sekarang."

Fate of Nostrallion

Wahyu membulatkan matanya kala Rizal memperkenalkan diri. Ia akhirnya mendapatkan gambaran dari wajah asli pria tersebut.

Rambut navy nya berkibar oleh terpaan angin malam yang dingin. Area tersebut cukup gelap, namun Wahyu bisa menerawang bagaimana rupa pria dihadapannya.

"Jadi kau memiliki kemampuan menggunakan identitas orang lain??" Tanya Wahyu.

"Bravo! Pengamatan yang bagus darimu." Puji Rizal. "Benar, aku memiliki kekuatan yang dapat menyerap identitas bahkan informasi orang tersebut agar benar-benar seperti memerankan tokohnya secara sempurna."

"Tapi, aku merasa kau sudah menyadari beberapa kejanggalan sedari awal pertemuan kita, benar?" Tebak Rizal sembari menunjukkan senyuman khasnya.

"Ya, aku merasakan aura yang berbeda darimu, seolah kau bukanlah Hamka." Ucap Wahyu membenarkan. "Dan firasatku benar." Sambungnya.

Rizal hanya terkekeh pelan, membalikkan tubuhnya untuk menatap kearah pemandangan langit malam yang ditaburi beberapa bintang.

Gemerlap lampu perkotaan pun masih dapat terlihat dari distrik mati itu, walau memang jaraknya sangatlah jauh.

"Memang kesempurnaan hanya milik tuhan, kita makhluk fana tak akan pernah mencapai tingkatan itu." Tuturnya puitis.

"Apa yang kau inginkan dariku?" Wahyu masih menggenggam pistolnya, sewaktu-waktu ia dapat menekan pelatuknya.

"Pertanyaanmu bodoh, aku tahu kau sudah mengetahui jawabannya."

Fate of NostrallionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang