Aku sampai di Rose Cafe, tetapi orang aneh tadi sudah tidak ada. Aku kalah cepat. Lyn bilang, jika orang itu langsung pergi saat tahu jika Deren memanggilku untuk segera ke kafe. Mungkin hal itu yang membuat orang aneh itu pergi.
Aku melihat banyak sekali pelanggan di sore ini. Meskipun seharian bekerja di kantor, tetapi hal yang paling membuat semangat adalah pergi ke kafe dan melihat banyak pelanggan. Melihat banyak sekali sumber penghidupanku dimana-mana. Eh?
Tetapi kenyamanan itu berubah saat aku mendengar suara seseorang yang datang sambil menggandeng pacarnya, ralat, suaminya. Aku memutar bola mata heran dengan kedatangan mereka. Padahal masa cuti yang kuberikan cukup lama untuk pasangan baru itu.
"Kenapa kau sudah pulang?" tanyaku menatap Ellie.
Orang itu adalah Ellie, bersama Theo yang sekarang resmi menjadi suaminya. Ellie meminta cuti waktu itu untuk bisa mengurus keperluan pernikahannya. Jadi entah kenapa dia kembali ke kafe setelah aku memberinya cuti panjang.
Ellie mengernyitkan dahi, "Pertanyaan apa itu? Seharusnya kau senang aku kembali!" ucapnya membuatku memutar bola mata.
"Tapi waktu cutimu masih panjang, kau bisa menikmati masa cuti bersama suamimu," ucapku melirik Theo yang sejak tadi kikuk berdiri di samping Ellie.
"Padahal aku sudah berekspetasi kau akan memberiku ucapan, selamat menempuh hidup baru," ucap Ellie.
Aku menggedikkan bahu, "Kau saja tidak mengundangku ke acara pernikahanmu," ledekku.
Ellie tertawa pelan, "Maafkan aku, Rain. Itu adalah pernikahan tanpa tersusun," ucap Ellie mengambil bangku kosong, "Bagaimana dengan pekerjaanmu di kantor, Rain?" lanjut Ellie.
Aku menatapnya aneh, "Masih sama membosankaan. Tunggu... kenapa kau hanya duduk disitu?" tanyaku.
"Huh? Aku harus bekerja? Bukankah aku masih dalam masa cuti?" tanya Ellie balik.
Lyn yang baru saja mengantarkan pesanan lewat di depan kami. Lalu anak itu tertawa kecil mendengar ucapan Ellie. Sepertinya Lyn tahu apa yang ada dipikiranku.
"Rain tidak akan membiarkanmu duduk diam saja, Ellie. Dia sudah memberimu cuti, tapi kau malah kembali ke kafe, jadi dugaanku adalah... bahwa waktu cutimu sudah selesai dimatanya," jelas Lyn, yang ternyata dia pintar menebak.
Ellie melotot, "Aku kesini untuk bertemu denganmu, bodoh! Bukan membatalkan waktu cutiku!" Ellie menarik kursinya semakin dekat dengan meja di depan kami, "Dengar, Theo bilang bahwa Julia sekarang bekerja di tempatnya bekerja. Apakah itu benar? Kenapa dengan tokonya? Apakah Julia sudah bangkrut?" tanya Ellie sambil berbisik.
Disaat kami sedang mengobrol, Theo memesankan kami minuman. Meskipun ini kafeku, tapi dia tetap mentraktir kami. Padahal mereka tidak perlu membayar. Khusus untuk orang dalam, tidak perlu membayar, kalau mengikuti trend anak muda zaman sekarang.
Fokusku kembali ke Ellie, "Benarkah? Julia bekerja disana? Dia menempati posisi apa?" tanyaku mulai penasaran.
"Kata Theo, Julia mendapat posisi sebagai sekertaris CEO di perusahaan besar itu," jawab Ellie.
Aku mengangguk, "Itu berarti dia benar-benar menjual tokonya, dan memilih bekerja di kantor," ucapku.
Ellie meminum kopi hangat yang dibawakan oleh Theo, "Iya kau benar, apa bagusnya bertahan di toko yang mau runtuh itu?"
Aku tertawa pelan, "Jika Julia mendengar ini, dia pasti akan memukulimu," ucapku.
"Sejujurnya aku merindukan anak itu..." Ellie menyeruput minumannya, "Kau sudah mendapat pesan dari Julia?" tanya Ellie.
Pesan satupun aku tak mendapatkannya. Sejak Julia menjual tokonya, dia tidak pernah menghubungiku sama sekali. Bahkan Kenzie, sebagai kakak Julia, juga tidak tahu apapun. Aku mulai curiga jika Julia sudah merencanakannya sejak awal.
"Julia tidak pernah menghubungiku," jawabku.
"Aku akan meminta Theo untuk bicara dengan Julia saat di kantor," ucap Ellie.
Aku menatap Theo disisi lain kafe yang sedang mengobrol dengan Ryan. Lalu tatapanku kembali ke Ellie, "Sebenarnya aku bertemu dengan bos-nya Julia waktu ke tokonya," ucapku.
Ellie sepertinya tertaarik dengan ucapanku, "Bos? CEO perusahaan besar itu?"
Aku menggedikkan bahu, "Aku tidak tahu persis apa jabatannya. Tapi pria itu punya aura kuat untuk menjadi seorang pemimpin. Maka aku menyimpulkan jika dia benar-benar CEO perusahaan itu,"
Ellie berdecak, "Aku pikir ucapanmu itu sungguhan, ternyata masih dugaan. Ah, lupakan, kembali ke topik. Jadi bagaimana dengan pria yang kau maksud itu?" tanya Ellie.
Aku menyeruput teh hangat lalu mulai berbicara lagi, "Namanya Oliver Ravegan, dia pria yang terlihat sangat berwibawa. Aku tidak bisa memastikan kenapa dia mau membeli toko Julia, dan menjadikan Julia sebagai sekertarisnya," jelasku.
Ellie terlihat berpikir, sampai aku melihat lipatan di dahinya. Itu artinya, dia benar-benar berpikir keras. Lalu aku terlonjak kaget saat Ellie menggebrak meja dengan sangat keras sampai pengunjung kafe-ku menoleh ke arah kami. Aku meringis malu dengan tidakan Ellie, dan meminta maaf dengan pengunjung kafe. Aku memelototi Ellie.
"Apakah pria itu tampan?" tanya Ellie. Aku mengernyitkan dahi, dia sungguhan bertanya hal itu?
"Apa maksudmu?"
"Apakah Oliver Ravegan itu tampan?" ulang Ellie.
Dia benar-benar bertanya hal seperti ini padaku? Hal yang tidak penting seperti ini? Seketika aku menyesal sudah menjadikan Ellie sebagai asisten sekaligus temanku.
"Kenapa kau menanyakan hal itu?"
Ellie tertawa pelan, "Jawab saja, Rain,"
Aku berpikir, "Mungkin iya,"
"Mungkin?" Ellie tertawa hambar, "Tidakkah kau tertarik sedikit dengannya?"
Aku memutar bola mata malas, "Oh ayolah jangan mulai lagi,"
Setelah beberapa jam berlalu, aku hanya mengobrol dengan Ellie perihal Julia. Setelah itu Ellie pulang bersama Theo. Bahkan Ellie dengan santainya akan kerja lagi setelah masa cutinya habis. Memang benar, tetapi bisakah dia datang dengan informasi yang penting saja?
Hari mulai gelap, orang-orang semakin sedikit berkunjung ke kafe. Kafe ini akan kami tutup. Kami segera berkemas-kemas. Deren membereskan dapur dibantu dengan Ryan. Sedangkan aku dan Lyn menata meja di kursi. Lyn menata dan membersihkan meja di indoor. Sedangkan aku bagian outdoor.
Aku mulai membersihkan meja dan merapikan kursi seperti semula. Lalu membuang beberapa bungkus plastik ke tempat sampah agar nanti di ambil oleh tukang sampah.
Bahkan tanpa sadar jika aku hampir menyelesaikan semuanya. Semua tempat hampir bersih dari sampah dan kursi sudah kembali seperti semula. Tinggal beberapa meja lagi.
Aku beralih ke meja yang lain. Tetapi mataku terpaku oleh seseorang yang sedang bermain dengan kucing. Eh, entah dia sedang mengajak kucing itu bicara atau apa. Tapi itu kedua kalinya aku bertemu dengan pria itu lagi.
"Maaf, kafe ini sudah tutup..." ucapku pelan.
Pria itu menoleh padaku, lalu mata setajam elangnya menatapku, "Hm?"
***
tertanda,
Sky istri sah Choi Soobin.
![](https://img.wattpad.com/cover/353068316-288-k798289.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth
Фэнтези[sequel The Kingdom Of Destiny] The Kingdom Of Destiny2: Hiraeth Rainazela Rosaline adalah seorang pemilik cafe bernama Rose Cafe. Ia punya orang tua yang masih lengkap dan kakak laki-laki yang sangat dingin padanya. Sebelumnya, ia selalu bersikap s...