021

148 12 3
                                    

Kembali lagi kepada kesibukanku di kantor yang untungnya tidak jadi lengserkan oleh Tn. Thomas. Ibaratnya, aku sudah diberi kesempatan kedua untuk menunjukkan kelayakanku sebagai bagian dari perusahaannya. Tidak mungkin juga dia memecatku disaat mengetahui bahwa aku adalah kekasih partner bisnisnya.

Bisa dibayangkan seperti apa kerugian yang akan didapatkan Tn. Thomas jika berakhir memecatku dari perusahaan. Kehilangan karyawan, jelas, dan mendapatkan banyak sorotan negatif dari publik. Maka jalan terbaik adalah tetap membiarkanku bekerja di perusahaannya. Tetapi ini juga berkat Oliver yang ternyata turut andil agar aku tidak jadi dipecat oleh bosku sendiri.

"Rain, kau tahu tidak, apa yang lebih memabukkan selain parfumku pagi ini?" tanya Kenzie di seberang mejaku. Dia menyerigai menggoda, menyebalkan sekali.

"Bukankah setiap hari parfum yang kau gunakan selalu aneh?" ledekku.

Kenzie tertawa pelan. "Aku serius kali ini."

"Apa?"

Dia mendekat ke padaku dan berbisik pelan. "Kau." jawabnya, lalu meniup telingaku. Refleks aku hendak menimpuknya dengan buku tebal. Tetapi dia dengan cepat mundur dan menghindar sambil tertawa-tawa tidak jelas.

"Oh iya, tapi aku-"

"Ra!" tiba-tiba saja Alaric datang dan memanggilku begitu keras, sampai karyawan lain menoleh ke arahnya.

Alaric mendekati mejaku. "Kau benar-benar menjalin hubungan dengannya?"

"Hah?" aku bingung.

"Dengan Oliver Ravegan!" ucapnya menegaskan kembali.

Aku langsung tersadar saat mendengar nama itu. Aku mengangguk membenarkan, mendalami aktingku. "Iya, benar."

Alaric menatapku tidak percaya. "Bagaimana bisa??"

"Because i love him." ucapku asal.

"Maaf menyela, tapi Tuan Archero, seharusnya anda tidak mengganggu karyawan yang sedang bekerja jika pembahasannya tidak penting." ucap Kenzie yang mengangkat bahu acuh sambil menatap kami.

Alaric melengos kesal dengan ucapan Kenzie, lalu beralih menatapku lagi. "Kita lanjutkan nanti." ucapnya diakhiri senyum simpul dan segera pergi ke lift.

"Dia sangat strict sekali dengan saudaranya sendiri..." ucap Kenzie yang langsung melirikku.

"Mungkin dia mencoba bersikap baik padaku." ucapku mencoba berpikir positif, mencoba melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda.

Kenzie mendengus kesal. "Dia terlalu banyak membatasimu!" ucapnya menekan kata-kata yang keluar dari mulutnya.

Aku tidak memedulikannya yang mengecoh tidak jelas. Sebagian juga mengumpati Alaric yang menganggu ketenangan kami di kantor. Aku melirik ke arahnya yang sekarang sedang melipat kedua tangannya di depan dada sambil menatap komputer. Kemudian dia balas melirikku yang langsung aku balas pelototan tajam. Tapi dia tidak takut sama sekali. Dia tersenyum dan tertawa singkat melihat wajahku.

"Kau mirip dengan Mentilin," celetuknya lalu memperlihatkan ponselnya yang di sana ada foto hewan dengan mata besar yang menempel di pohon. "Mirip, kan?" 

Aku memutar bola mata malas, bosan dengan candaannya. "Iya mirip sekali, sampai aku ingin memelototimu setiap hari." ucapku kembali mengetik pada komputer yang menunjukkan data-data perusahaan.

Kenzie menutup ponselnya dan menaruh kembali ke meja kerjanya. Dia menggulung kemejanya sambil menatapku menggoda lagi. "Aku tidak masalah dengan itu. Siapa tahu kau malah jatuh kepadaku." ucapnya percaya diri sekali.

Inilah yang aku waspadai dari Kenzie. Dia selalu percaya diri mengingat sikap jahilnya setiap hari padaku. Aku juga tahu jika dia masih memendam perasaan padaku, tapi aku tidak menyukainya. Aku sudah menganggapnya sebagai kakakku selama kami bersama. Dia memang baik padaku, tapi sama sekali bukan kriteria pasangan yang aku inginkan. Malah menurutku, dia bisa menemukan pasangan yang sesuai dengan sifatnya itu, mungkin lebih masuk akal jika pasangannya sama sepertinya. Bukan seperti aku yang setiap waktu memasang sifat kaku. Entah itu di luar, di kantor, atau di mana pun aku berada. 

"Aku sudah punya pacar." ucapku menatapnya dingin. Aku memang membatasi candaannya. Hal itu untuk membuatnya berhenti berharap kepada orang sepertiku. Aku tidak ingin dia terluka lebih jauh karena perasaan sepihak yang dia tujukan padaku.

Kenzie menghela napas. "Ah! Itulah masalahnya..."

"Jadi jaga batasanmu denganku. Aku mencoba menjaga perasaan pacarku." ucapku menata dokumen yang berantakan menjadi satu tumpukan.

Sekarang Kenzie menarik kursi kerjanya ke sebelah mejaku. Dia meletakkan kedua tangannya di meja, dan tersenyum simpul. "Tapi dia kan tidak tahu?" ucapnya.

"Kau memang gila." 

Kenzie tertawa mendengar responku. "Oh ayolah. Kau masih bisa menjalin hubungan dengan Oliver, tapi kau juga bisa menjalin hubungan bersamaku di saat yang bersamaan?" tawarnya sambil menaik-turunkan kedua alisnya.

Aku memukul wajahnya dengan dokumen yang sudah jadi. "Lebih baik kau lihat kembali dokumen ini, apakah sudah sesuai atau belum, sebelum bos kita marah lagi." ucapku memberikan dokumen itu padanya.

Kenzie menerima dokumen itu sambil memasang wajah cemberut. Dia menarik kursi kembali ke mejanya dan menatapku dengan tatapan bak orang paling tersakiti. Menyebalkan memang bekerja bersamanya. Tapi dia baik dalam bekerja di kantor, dan selalu ada saat aku membutuhkan bantuannya. Memang butuh uji kesabaran saat bekerja bersamanya agar tidak terjadi pertikaian di antara kami. Aku juga tidak ingin mengorbankan pekerjaanku di sini. Apalagi karena hal konyol di antara kami berdua.

Beberapa menit setelah pembicaraan tiada artinya di antara kami, ponselku menyala menandakan ada pesan yang masuk. Aku segera melihat pesan dari orang yang mengirim pesan padaku. Mataku mengernyit melihat isi pesannya. Hidupku memang dipenuhi oleh aneh seperti ini sepertinya.

Alaric: temui aku di kantin sewaktu istirahat

"Sepertinya ada yang mengajakmu keluar?" tanya Kenzie sambil memincingkan matanya menatap ponsel di tanganku.

"Ini bukan urusanmu Tuan Mackenzie," ucapku memelototinya.

Kenzie yang hendak membalas perkataanku langsung tertunda karena bunyi dering di ponselku. Aku segera mengangkatnya, tidak memedulikan tatapan ingin tahu dari Kenzie. Aku menempelkan ponsel itu di telingaku dan mulai berbicara agak keras dengan orang di seberang telepon.

"Apa lagi yang kau inginkan?" tanyaku ketus.

"Aku hanya memastikan jika kau sudah membaca pesanku." Alaric di seberang telepon terdengar dengusan kesalnya berulang kali. Aku melirik ke arah Kenzie yang mencoba mendengar pembicaraanku dengan Alaric. Tetapi untungnya suara teleponku tidak benar-benar keras, dan hanya aku saja yang dapat mendengar suara dari Alaric.

"Aku sudah membacanya. Untuk apa kau memintaku menemuimu?" 

"Aku ingin membicarakan hal penting," ucapnya.

"Aku tidak ingin membicarakan hal yang dapat mengangguku selama bekerja, dan kau tahu, kelakuanmu ini sudah termasuk ke dalam ranah hal itu selama kau -" 

"Kondisi ibu semakin melemah." Alaric memotong perkataanku. Aku terdiam saat mendengar perkataan yang meluncur bebas dari mulutnya. Tatapanku kosong, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Alaric di telepon.

"Kau boleh membenciku, tapi jangan melupakan bahwa kau masih punya ibu yang setia menunggu kepulanganmu, Ra." Setelah mengatakan itu, Alaric menutup telepon. Hanya menyisakan bunyi telepon telah dimatikan sepihak.

Aku menaruh kembali ponselku di meja kerja. Lalu mulai memikirkan ulang kata-kata terakhir Alaric sebelum mematikan sambungan telepon. Lalu aku menghembuskan napas lelah, dan berakhir menyenderkan kepalaku di kursi kerja. Perlahan mataku mulai menutup dan akhirnya aku tertidur, melupakan bahwa aku masih bekerja di kantor. Bahkan aku lupa jika sejak tadi Kenzie masih ada di sekitarku. Tapi entahlah... aku hanya ingin mengistirahatkan diriku sejenak. Kali ini saja... tolong, jangan membuatku berpikir untuk melakukan hal yang sama lagi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HiraethTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang