019

376 38 1
                                    

Gila.

Satu kata untuk Oliver yang menanyakan penawarannya itu padaku. Dengan senang hati aku awalnya menolak tawaran busuknya itu. Hingga akhirnya dia menjelaskan segalanya padaku: jika opsi kedua lebih memungkinkan untuk dilakukan. Maka dengan berat hati, aku menerima tawarannya itu. Meskipun menguntungkan menjadi pacarnya, tapi aku tidak pernah menyukainya. Hanya untuk membuat publik bungkam mengenai foto kami yang beredar.

Sejak saat itu, Oliver lebih berani menunjukkan hubungan kami kepada publik. Bahkan teman-temanku di Rose Cafe terlihat kaget saat mendengar berita besar yang beredar di media massa. Ini semua demi sandiwaraku dengan Oliver berjalan lancar. Kami mematok tiga bulan untuk menjalani hubungan pura-pura ini. Meskipun agak memuakkan, tetapi aku akan menjalaninya, demi terbebas dari media di luar sana.

Sekarang ini aku tengah berada di kediaman Ravegan. Lebih tepatnya rumah megah milik Oliver. Menariknya, rumah sebesar ini hanya ditinggali oleh Oliver dan pembantunya. Selebihnya aku tidak tahu kemana orang tuanya, atau dia memang suka tinggal sendiri.

"Aku akan ke ruanganku sebentar untuk mengambil dokumennya." ucapnya yang aku angguki pelan.

Setelah dia pergi, aku berkeliling di ruang tamu. Ruangan ini cukup besar dan terdapat perapian di ujungnya. Aku mendekati perapian itu, di atasnya ada foto-foto masa kecil Oliver. Sebuah foto menarik perhatianku. Disana, Oliver yang masih remaja menunggang kuda dengan muka datarnya. Aku tertawa pelan. Tapi mataku tertuju pada kuda yang ditungganginya.

"Apa yang kau lihat?" dia tiba-tiba datang dan membuatku terkejut.

Aku menunjuk foto di depanku. "Kau dulu suka mengendarai kuda, ya?" tanyaku.

Dia yang hendak mendekat langsung berhenti. "Oh itu kuda milik kakekku." jawabnya.

"Sekarang di mana kuda itu?" tanyaku padanya.

"Namanya Drew, dia sudah tiada."

Aku terdiam. "Ah, maaf aku tidak tahu."

Dia menggeleng pelan. "Tidak masalah." Akhirnya pembicaraan itu berakhir dan dia segera membuka map berisi dokumen yang akan ditunjukkan padaku. Aku melihatnya tanpa mengalihkan pandanganku.

"Apa ini?" tanyaku.

"Surat perjanjian untuk hubungan kita selama tiga bulan." jawabnya yang membuatku menganga.

Dia menyodorkan surat perjanjian itu kepadaku. Di sana sudah ada tanda tangannya, tinggal tanda tanganku saja. Aku membaca poin yang ada dalam surat itu. Intinya, dalam surat itu tertulis hubungan tiga bulan dengan misi utama untuk menghilangkan masalah yang menjerat namaku.

"Jika aku menandatangi ini, apakah aku akan rugi?" tanyaku.

Dia tersenyum tipis. "Kau tidak akan rugi."

Tanpa pikir panjang, aku langsung menandatangani surat perjanjian itu. Sekarang resmi, hubungan kami ada di dalam surat perjanjian. Selama tiga bulan kedepan, aku harus bersandiwara dengan pria di depanku ini.

"Kau mau makan sesuatu?" tanyanya.

Aku melihat sekeliling. "Boleh. Tapi makan apa?" tanyaku padanya.

Dia mengajakku ke dapurnya. Mengobrak-abrik kulkas dan mengeluarkan bahan makanan di dalamnya. Aku menonton di belakang, tidak tahu harus membantu bagaimana.

"Hanya ini yang ada di kulkas. Kurasa Bibi Marleen belum membeli bahan makanan lagi." ucapnya menunjuk bahan-bahan makanan.

"Tidak masalah," jawabku.

"Mungkin aku bisa membuatkan sup ayam." ucapnya.

Aku melotot terkejut. "Kau bisa melakukannya? Really?"

"I'm not sure. But I'll try it." jawabnya sambil memulai membersihkan ayam.

"Aku akan membantumu." ucapku yang mulai menggelung kemejaku kananku ke siku. Dia melihatku, dan membantu menggelung lengan kemeja yang kiri. Aku melihat kemampuannya melipat yang ternyata lebih rapi dari lipatanku. "Thanks..."

Sore itu kami mulai membuat makanan bersama. Dia tidak terlaku baik dalam memasak. Jadi aku mengarahkannya untuk memotong, maupun mencuci bahan yang lain. Untuk perbumbuan adalah urusanku. Hingga sup ayam itu selesai tepat pada waktunya perutku berbunyi.

Kami makan di meja makan dengan tenang. Dia memang mengajakku berbicara sejak memasak di dapur tadi. Tapi kali ini pembicarannya lebih santai dan membuatku merasa ringan. Mungkin karena kami juga sedang menikmati makanan.

"Jadi kau sebenarnya tidak pintar dalam memasak." ucapku tersenyum menyerigai padanya.

Dia berhenti mengaduk supnya. "Aku lebih suka berurusan dengan dokumen kantor." ujarnya.

"Intinya sama, kau tidak bisa memasak." godaku.

"Aku bisa memasak jika aku ingin." ucapnya mencoba membela diri.

Aku memutar bola mata malas. "Bohong. Membedakan gula dan garam saja kau tidak bisa." sanggahku.

"Oh ayolah, kedua bumbu itu terlihat mirip di mataku." ucapnya.

"Kau bisa mencicipinya dulu, sebelum menggunakannya." ujarku sambil mengangkat bahu.

Dia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah, kau menang."

Senang rasanya bisa mengobrol santai dengannya. Seperti saat ini, aku merasa dia seperti pria pada umumnya, bukan pemilik perusahaan raksasa. Aku mengambil gelasku dan meminum isinya hingga tandas.

"Oliver." panggil seseorang yang baru saja masuk ke ruang makan. Aku berhenti minum dan melihat siapa yang datang.

Julia datang sambil membawa sebuah kotak kecil. Entah apa isi dari kotak itu. Dia terkejut aku berada di sini bersama Oliver. Tentunya hal itu membuatku juga terkejut karena dia bisa di sini, lalu tadi apa? Memanggil bosnya dengan nama langsung?

"Rain..." ucap Julia.

Aku diam menatapnya. Tidak berniat berbicara dengannya. Tunggu sebentar. Aku ingat satu rumor yang mengatakan jika Julia menjalin hubungan dengan bosnya sendiri. Di sinilah aku menangkap semuanya. Jadi sebenarnya, Julia itu pacar asli Oliver? Sedangkan aku hanya perantara agar hubungannya yang asli tidak terbongkar oleh media massa? Begitu? Wah, pemikiranku sepertinya terlalu liar. Tapi jika hal itu benar, maka aku akan memukul wajah Oliver di hadapan Julia langsung.

"Kenapa kau kesini?" tanya Oliver menatap datar Julia.

Julia mengangkat kotak di tangannya. Setelah itu, Oliver langsung mengangguk paham. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Meskipun tanpa mengeluarkan suara, namun aku tahu jika di dalam kotak itu ada sesuatu yang penting.

"Tunggu di tempat biasanya." ucap Oliver yang langsung diangguki Julia.

Namun, sebelum Julia pergi. Aku lebih dulu banhkit dari dudukku. "Mungkin aku mengganggu waktu kalian." ucapku sambil mengambil tasku.

"Kau mau kemana? Kita belum selesai." ucap Oliver.

"Pulang." jawabku. Julia masih berdiri di sana dengan kaku. Kurasa aku sudah merusak momen mereka berdua.

"Tetap di tempatmu." ucap Oliver lagi.

"Kurasa situasi kalian lebih penting," ucapku sambil melirik ke Julia yang masih menatap kami dalam diam. "Aku permisi, tuan Ravegan..."

"Siapa yang mengizinkanmu pergi? Aku bilang, tetap di tempatmu nona Rosaline." ucap Oliver sambil menatapku tajam, tidak membiarkanku pergi dari kediamannya.

***

Hay, i'm come back🏃‍♀️‍➡️

Bagaimana kabar kalian?

Kasian banget digantung. Yihaa (≧∀≦)

Oke, maaf karena baru sempat update lagi kelanjutan cerita ini. Sekali lagi, bukan bermaksud gantung. Tapi memang real life sibuk banget. Asli dah.

Yang dari kemarin kapan update, kapan up dsb. Tolong pengertiannya teman-temanku (^∀^). Tenang aja, aku tetap akan nyelesaiin cerita ini kokk. Kalian sabar aja, karena nulis itu gak semudah ngerebus mie instan.

Tertanda,
Sky istri sah Choi Soobin.

HiraethTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang