"Mas jaya mau ke sawah ya?" tanya Anantha diambang pintu yang melihat Sanjaya sedang menyiapkan sebuah cangkul dan dua celurit.
Sanjaya menatap Anantha, "Iya, Nan. Mau ikut?" tawarnya.
Anantha meringis, "Nggak deh, Mas. Aku lagi males. Hari ini panas banget, takut nanti aku pingsan."
"Ada-ada saja kamu, Nan. Dasar perempuan ya, selalu menjadikan panas sebagai alasan." Sanjaya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Namanya juga perempuan, ya wajar lah, Mas Jaya. Perempuan itu merawat dan menjaga dirinya untuk jodohnya di masa depan," sahut seorang gadis sembari berjalan menuju Sanjaya dan Anantha.
Mendengar itu, Sanjaya dan Anantha reflek menoleh ke sumber suara, "Lho, Mbak Hartini? Sejak kapan sampean onok nang kene?" (Loh, Mbak Hartini? Sejak kapan kamu berada di sini)
"Baru saja, Mas Jaya. Tapi aku menguping pembicaraan kalian berdua. Jadi, aku iseng menjawab perkataan Mas Jaya. Maaf ya, karena aku tidak sopan," ujar gadis yang dipanggil Mbak Hartini oleh Sanjaya.
"Gak popo, Mbak. Oh yo, sampean rene iki onok keperluan opo? Arep ketemu Bapak opo Ibukku, hayoo ..." (Gak papa, Mbak. Oh ya, kamu ke sini ada keperluan apa? Mau ketemu Bapak atau Ibuku, hayoo) goda Sanjaya.
"Aku mrene mek arep ngekekno iki tok." (Aku ke sini cuma mau ngasih ini aja) Mbak Hartini berkata sambil menyodorkan tas anyaman kepada Sanjaya.
"Waduhh ... Opo iku, rek?" (Waduhh ... Apa ini) Sanjaya membuka tas tersebut dan melihat isinya, "ojo ngomong iki balesan gara-gara aku wingi mari ngekek'i nang sampean," (Jangan bilang ini balasan karena aku kemarin sudah memberi ke kamu) ucap lelaki itu.
"Yo gak popo ta lah, Mas. Itu-itung iso mempererat tali pertetanggaan." (Ya gak papa dong, Mas. Hitung-hitung bisa mempererat tali pertetanggaan) Hartini terkekeh usai mengatakan hal tersebut.
Sanjaya juga tertawa, "Sampean iki iso ae, Mbak." (Kamu ini bisa aja, Mbak)
"Haduhh, Mas ... Sampean iku wes tak kandani bolak-balek. Ojo nyeluk aku nggawe sebutan Mbak, aku iki loh lebih muda dari sampean," (Haduhh, Mas ... Kamu itu sudah tak bilangin berulang kali. Jangan manggil aku pakai sebutan Mbak, aku ini loh lebih muda dari kamu) protes Hartini.
"Yo sepurane. Soale aku wes terbiasa nyeluk sampean, Mbak. Ben kedengerane luwih sopan, ngono," (Ya maaf. Soalnya aku sudah terbiasa manggil kamu, Mbak. Biar kedengarannya lebih sopan, gitu) jawab Sanjaya.
"Sek yo, tak ndelehno iki nang pawon." (Sebentar ya, aku taruh ini di dapur) Hartini mengangguki apa yang diucapkan Sanjaya.
Setelah Sanjaya tak terlihat lagi, Hartini pun mulai mengajak Anantha untuk mengobrol.
"Mbak Anantha, ya?"
"K-kok M-mbak Hartini bisa tau namaku?" tanya Anantha dengan penuh kebingungan.
Hartini berdehem, "Jadi begini, aku tau nama kamu itu dari Mbak Sulastri."
"Emangnya Mbak Sulastri itu siapanya kamu?" Anantha mengernyit dahinya.
"Kakak aku."
Anantha mengangguk-angguk, "Owalah."
"Lah Mbak Anantha sendiri siapanya Mas Jaya?" Hartini sedikit memelankan suaranya. Sejujurnya, ia malu untuk menanyakan hal itu. Tampak sekali seperti orang yang sudah lama ingin bertanya begitu. Tetapi rasa penasarannya telah mengalahkan rasa maluannya.
"Nggak usah bisik-bisik gitu ih. Dan satu lagi, jangan panggil aku dengan sebutan Mbak. Kayaknya umur kita nggak beda jauh," pinta Anantha.
"Oh, iya iya, Mbak Anan-maksudku, Anantha. Ya, Anantha." Hartini tampak gugup setelah ia sempat salah berucap.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sanjaya & Surabaya
Fiksi SejarahBercerita tentang Anantha, gadis itu koma usai mengalami kecelakaan lantaran ia menyetir dalam keadaan mabuk. Kemudian, Anantha pun terbangun di suatu tempat yang menurutnya sangat asing. Anantha merasa bingung. Dimana ia berada sekarang? Akankah ia...