Tema: "Buatlah cerita dengan tema makanan/minuman favorit kalian dengan tokoh utama kebalikan dari gender kalian."
Flash fiction, crime (kayaknya)
371 kata
Natala sering mengajakku ke EnCaffe. Khususnya malam-malam begini. Tadi siang dia sudah mengirimiku pesan yang memintaku—lebih terkesan merengek—untuk datang ke sana. Setelah usai dengan kelas malam, aku sampai di sana sekitar pukul sembilan tiga puluh. Toh, Natala tidak menyebutkan jam berapa aku mesti mendaratkan bokong di kursi EnCaffe.
Saat pantatku merasakan hangat kursi dekat jendela, Natala melambai singkat melalui konter, sampai-sampai kelewat nyengir seolah aku ini sedang memamerkan gigi padanya. Natala membawakanku senampan dan secangkir medium kopi espresso yang seperti biasa kupesan.
"Sialan kau," katanya saat menaruh nampan di atas meja. Dia duduk di bangku seberangku. "Kau ini mestinya datang jam delapan. Sekarang bahkan sudah jam—"
"Setengah sepuluh," potongku. Aku segera menyeruput espresso. Manis dan pahit bergumul di lidah. "Aku ada kelas malam, Nat—"
"Tinggalkan saja kelasmu," serobotnya.
"Dengkulmu. Enak saja kalau bicara." Aku mengerling sekitar. "Kau tidak kena tempeleng bosmu mengobrol denganku?"
"Hm." Natala mengangkat bahu, "Dia pergi keluar sejam lalu. Dan hari ini kawanku yang seharusnya shift malam denganku sakit, jadi aku harus kerja ekstra malam ini. Tapi syukurlah kau datang—"
"Kau tidak mungkin menyuruhku kerja rodi bersamamu," tebakku, "dan, ya, aku nggak sanggup."
"Tidak, Sayang." Natala terkekeh, "Aku cuma mau kau menemaniku di sini. Kau tahu, 'kan, akhir-akhir ini soal berita di tv itu?"
Keningku terpaut, "Negeri Merdeka Sejahtera, Coblos Nomor Urut Dua—"
"Bukan yang itu, Kambing." Nata mengedarkan pandangan sesaat. Memang, sih, kafenya malam ini lumayan sepi, bahkan tanpa kusadari di dalam sini hanya ada kami berdua. Entah karena sudah larut malam atau orang-orang kepalang takut keluar rumah sebab, "—Berita buronan lapas itu, yang sudah membunuh tiga orang dan masih buronan."
"Kau pasti bercanda." Aku terkekeh. Lamat-lamat kuteguk espresso yang hampir dingin. Lalu menghela napas sejenam, "Mana mungkin buronan itu sembarang bacok orang secara random. Dia juga pilih-pilih. Lihatlah dirimu, Nat, kurus ceking macam tongkat Harry Potter begitu. Mana mungkin—"
Saat itulah pintu menjeblak terbuka. Seorang merangsek masuk, memakai pakaian oren, berambut gondrong keriting bagai tak pernah dipangkas selama seabad lebih. Jambangnya mirip rambut jagung meski warna hitam. Ia menodongkan pistol ke arah kami dan segera menarik pelatuk.
paling unfaedah sih ini
KAMU SEDANG MEMBACA
unveiled: 30 DWC NPC 2024.
RandomSetelah aku bertemu Bibi Zaras malam itu, panti asuhan tempat anak-anak menginap dibakar oleh seseorang-atau sesuatu. Anehnya, 33 penghuninya dinyatakan menghilang tanpa meninggalkan jejak bakar tulang-belulang. Satu-satunya yang utuh di petanahan a...