Tema: "Buat cerita bertema warung."
Horror, paranormal
521 kata
Siang itu, awalnya aku memang merasakan pertanda akan dijemput malaikat maut. Yang pertama, usai menggali kubur bersama dua pria lain yang rentang usianya beda jauh denganku, aku disuruh mengambil beberapa botol air mineral di warung. Nanti bayarnya, kata Pak Pashur. Menggunakan sepeda motor kopling, aku hampir saja masuk parit saat ban depannya menabrak kucing hitam. Rodanya berdecit hebat, membuat segaris hitam yang membekas di semen jalan. Binatang itu mengeong keras, lalu kabur membawa langkah pincang.
Semua orang di sini tahu, jika menabrak kucing tanpa sengaja itu tandanya sebentar lagi akan ada seseorang atau keluarga yang akan mati. Nah, siapa yang menyangka kalau paginya malah aku sendiri yang mangkat.
Biar kalian tidak bingung, ini adalah lanjutan kisahku—tepatnya 19 jam sebelum mati penyet sebab dilindas ban mobil. Jika kalian lupa, baliklah ke chapter 'Satu', Kawan. Kisah pemuda tukang gali kubur yang bertemu hantu mantan sales.
"Woi! Hati-hati geblek!" teriak salah satu pria. Dia memakai sarung batik, baju koko berkerah rapi, kancingnya beda tingkat. Kumisnya membuat gerakan ketika ia melanjutkan, "Mati kucingku nanti!"
Aku nyengir, masih istighfar mengusap dada. "Maaf, Om, nggak liat."
Dia geleng-geleng kepala menahan naluri untuk emosi lebih lanjut, sebelum akhirnya membawa melangkah menyusuri pinggir jalan karena ujung roda motorku hampir menyerempet bokongnya. Bibirnya komat-kamit. Tanpa kudengar pun aku sudah hafal kalau beliau sedang menyumpahiku. Dari arahnya menuju, sepertinya Om itu mau pergi menyolati jenazah yang akan dikubur siang ini.
Aku lekas-lekas lanjut perjalanan karena teringat Pak Pashur dan Pak Narum di kuburan.
Warung Bu Fatimah sepi saat aku datang. Hanya ada suaminya saja yang sudah manula di sana sedang menjaga. Kata beliau, orang-orang baru saja bepergian ke masjid untuk menyolati jenazah. Tentu Bu Fatimah pergi menyambangi rumah almarhum.
Aku mengiyakan, lalu memesan tiga botol air meneral ukuran jumbo dan kopi botolan. Namun, ketika pasang mataku tak sengaja menatap seseorang yang berjalan pincang di jalan, Pak Jainal menginterupsi, "Jangan dihiraukan."
Aku pikir, di kampung ini hanya aku dan Pak Pashur saja yang memiliki penglihatan indra keenam, tetapi sepertinya suami Bu Fatimah juga punya.
"Dia pagi tadi baru saja bertemu Marwan—almarhum yang mati itu," jelas Pak Jainal, "mereka di depan warungku ini sambil bercakap-cakap."
Tengkukku terasa dingin, membawa desir aneh yang membuat bulu roma meremang. Keningku terpaut sesaat, "Sejak kapan Bapak ....?"
"Itu tidak penting." Sepertinya dia tahu apa yang kumaksud. "Ingat satu hal, kalau dia nanti kembali padamu, entah itu siang, sore, malam atau shubuh sekali pun, hiraukan saja apa yang dia bicarakan, Nak." Pak Jainal menyodorkan sekresek botol minuman yang kembaliannya sudah ia sisipkan dalamnya.
Kami berdua menatap pemuda itu. Dari belakang, perawakannya macam manusia habis ketabrak, tetapi berusaha pulang ke rumah. Alih-alih hantu, dia lebih pantas disebut zombie. Bajunya lusuh, bobrok dan penuh noda merah. Celana jins panjangnya bolong-bolong, bahkan bagian ujungnya sobek bagai habis digunting serampangan. Kakinya pengkor, jalannya pincang, agak membungkuk. Kiri kepala orang—atau sosok—itu tak serupa; benyek dan menampilkan seonggok otak. Kelihatan mirip borok yang membusuk.
"Aku punya firasat," kata Pak Jainal pelan, nyaris berbisik. Badannya condong ke arahku, mendekatkan mulutnya ke kupingku. "Dia penyebab almarhum mati."
KAMU SEDANG MEMBACA
unveiled: 30 DWC NPC 2024.
AléatoireSetelah aku bertemu Bibi Zaras malam itu, panti asuhan tempat anak-anak menginap dibakar oleh seseorang-atau sesuatu. Anehnya, 33 penghuninya dinyatakan menghilang tanpa meninggalkan jejak bakar tulang-belulang. Satu-satunya yang utuh di petanahan a...