4

395 71 2
                                    

Enjoy~

.
.
.

“Wangji.”

Panggilan Huacheng mengalihkan fokus Wangji yang semula tengah membereskan buku-buku kedalam tasnya. Bel pulang memang telah berlalu beberapa menit yang lalu, hampir semua siswa telah meninggalkan kelas dan hanya menyisakan mereka berdua. Wangji yang merasa dipanggil melirik pada Huacheng sembari menyampirkan tas dibahunya.

“kudengar tadi pagi A Xian membuat masalah lagi.” Katanya sambil tersenyum, kedua pemuda itu berdiri berhadapan diantara bangku-bangku yang telah kosong. Dan pada saat ini, Wangji merasa jika Huacheng sama sekali tidak terkejut ataupun terganggu setiap kali adiknya yang menurutnya diluar nalar itu berulah. Ia pikir, bukankah normalnya pemuda itu memberikan teguran atau semacamnya? Tapi, yang Wangji lihat selama beberapa hari ini Huacheng sama sekali tidak bertindak sebagaimana mestinya.

Dia terlampau tenang, dan terkesan memanjakan Wei Wuxian.

“Mn.” Wangji hanya menjawab singkat. Dan seperti yang sudah Wangji prediksi, orang itu pasti hanya merespon seolah itu bukanlah masalah besar. Huacheng hanya mengangguk sambil tersenyum.

“kalau begitu, sesuai janjiku, aku mengundangmu ke ruangan teh, bagaimana?”

Sebenarnya Wangji bisa saja menolak, akan tetapi, ketika melihat senyuman itu, entah kenapa ia merasa segan untuk melakukannya. Mungkin karena kepribadian orang itu yang terlalu ramah? Sampai membuatnya khawatir akan menyinggung Huacheng jika Wangji menolaknya. Pada akhirnya, ia mengikuti pemuda itu menuju tempat yang katanya sebagai ruangan teh itu.

Mereka menaiki anak tangga menuju lantai teratas gedung, selama perjalanan Huacheng menjelaskan sedikit detail dan beberapa fungsi ruangan yang sempat mereka lewati, sementara Wangji hanya menyimak tanpa sedikitpun berkomentar. Hingga akhirnya mereka sampai di depan sebuah pintu yang berbeda dibanding pintu-pintu ruangan lainnya, yang jika dilihat dari sisi manapun akan sangat mencolok jika ruangan dibalik pintu ini bukanlah tempat biasa yang bisa dimasuki sembarang orang.

“Masuklah.”

Wangji tersadar dari lamunannya ketika Huacheng mempersilahkannya masuk. Dan sesampainya didalam, Wangji dibuat kagum dengan isi ruangan tersebut. Sesaat ia berpikir jika dirinya sudah tidak lagi berada dilingkungan sekolah, karena ruangan ini terlalu berbeda dengan ruangan-ruangan lainnya.

Ada sebuah jendela besar dengan pintu kaca menuju balkon yang menghadap langsung ke area taman sekolah. Satu set sofa hitam, rak-rak yang dipenuhi buku, beberapa alat musik ditata sedemikian rupa di sudut ruangan. Lalu tanpa sadar, Jemari lentik Wangji menekan tuts grand piano berwarna hitam, memainkan sebuah melodi yang terdengar lembut meski dimainkan dengan tidak sungguh-sungguh.

“itu adalah piano peninggalan kakek kami.”

Seolah kembali tersadar Wangji membalikan tubuhnya ke arah sofa, disana lagi-lagi Huacheng tersenyum sembari mengangkat nampan berisi satu set cawan keramik berwarna putih. Dengan sedikit agak canggung Wangji menghampiri sofa dan duduk disebrang Huacheng.

“Apa ini semacam ruangan khusus?” Wangji menyuarakan isi pikirannya, dibalas anggukan kecil, “ya, kakek kami mendesain ruangan ini khusus untukku dan saudara-saudaraku. Beliau ingin membuat sebuah ruangan khusus dimana kami bisa mengekspresikan setiap perasaan kami. Anggap saja seperti buku harian raksasa.”

Wangji tersenyum kecil mendengar kelakar Huacheng, “terimakasih.” Ucapnya lalu menyesap teh yang baru dituangkan ke cawan miliknya.

“tapi sayangnya, tetap saja ruangan ini tidak membuat A Xian berhenti berulah.”

Boy Meet BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang