25

203 58 14
                                    

Haiii~

.
.
.

"Sudah kubilang jika kau bertemu lagi denganku kau harus melarikan diri, brengsek!"

Buagh!

.
.
.

"Pffftt."

Lan Xichen berusaha sekeras mungkin agar tidak tertawa. Sambil membantu adiknya mengompres kakinya dengan ice gel wajahnya terus ia palingkan ke arah lain karena takut menyinggung Wangji.

"Xiongzhang."

Benar kan, saat ini Wangji pasti sedang merajuk.

Oh ya tuhan, maafkan Lan Xichen tapi- yang tadi itu benar-benar lucu.

Rupanya Wei Wuxian tidak berbohong saat dia bilang akan mematahkan tulang Wangji jika mereka bertemu lagi. Meski tidak benar-benar patah tapi nyeri dan ngilu yang mendera tulang keringnya tidak main-main. Ia sampai harus berjalan terpincang saking kuatnya tendangan yang dilayangkan mantan kekasihnya itu disana.

Lan Xichen saja sampai bingung harus bereaksi bagaimana. Antara ingin tertawa tapi juga kasihan pada adiknya. Ini adalah pertama kalinya Xichen melihat seorang Lan Wangji yang selalu dihormati dan dikagumi banyak orang diperlakukan secara tidak bermartabat, terlebih oleh orang yang dia cintai sendiri.

"Tertawa saja tidak apa-apa." Imbuh Wangji dengan suara dinginnya seperti biasa.

Dan karenanya Xichen menjadi semakin tidak tega. Akhirnya dia berdehem kecil untuk meredam keinginannya agar tidak tertawa lagi kemudian beralih menatap adiknya yang diam sambil membaca buku. "Wangji, kau yakin akan melepaskannya begitu saja? Kupikir A Xian mungkin akan, berbeda." Lan Xichen memenggal kata terakhirnya ketika bayangan orangtua mereka terlintas dalam kepalanya. Memori dari masa lalu yang muncul saat membahas kisah cinta adiknya, dimana bayang-bayang kisah tragis orang tua mereka selalu menghantui.

"Mungkin akan terdengar aneh jika aku mengatakan ini, tapi kupikir A Xian berbeda dengan mama. Dia, tidak akan menyerah dan tunduk begitu saja pada mereka." Lanjut Xichen kali ini lebih serius.

Sementara Wangji sudah kehilangan fokus pada buku yang sedang dibacanya. Kata-kata kakaknya barusan mau tak mau menggoyahkan keputusannya untuk melepaskan Wei Wuxian. Jauh dalam hatinya, Wangji tidak ingin melepaskan pemuda itu. Akan tetapi, ia juga tidak sanggup membayangkan apa yang akan menanti mereka di masa depan jika Wangji tetap memaksa untuk bersama. Apa yang terjadi pada orangtua mereka merupakan sebuah kutukan yang mengikat Wangji agar tidak melangkah lebih jauh bersama sosok yang dicintainya.

Karena ia mencintai Wei Wuxian, maka dia harus kehilangannya.

"Entahlah." Jawabnya singkat, menutup percakapan tentang hal ini dengan Lan Xichen.

.
.
.

Dan kesialan Wei Wuxian sepertinya tidak berhenti sampai kejadian di cafe beberapa minggu yang lalu. Karena setelahnya, dalam setiap kesempatan, entah bagaimana dia selalu bertemu dengan Lan Wangji. Jika harus mengambil sebuah kesimpulan paling liar, mungkin saja Wangji sengaja menguntitnya. Tapi masalahnya, dia sendiri yang menginginkan hubungan mereka berakhir bahkan dengan cara yang sangat jahat. Jadi alasan apa lagi yang Wangji miliki untuk menguntitnya?

Jadi, Wei Wuxian pikir bahwa semua itu hanya kebetulan yang dirancang semesta untuk membuatnya mati lebih cepat karena darah tinggi.

Seberapa sempit memangnya dunia ini sampai mereka harus selalu bersinggungan?! Padahal saat ini dirinya sedang numpang tinggal di apartemen Jiang Cheng yang notabenenya berbeda kota dengan tempat tinggalnya karena Huacheng yang melanjutkan pendidikan di luar negri dan Binghe yang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan kekasihnya.

Wei Wuxian mengerang tertahan saat lagi-lagi mereka bertemu, kali ini di lorong supermarket dimana mereka saling berdiri berhadapan di ujung-ujung lorong yang sepi.

Mata Wei Wuxian terlihat memicing, bahkan meski dari kejauhan Wangji bisa merasakan aura intimidasi dari tatapan yang dilayangkan mantan kekasihnya untuknya membuat pegangannya pada troli tanpa sadar makin erat dan langkah kakinya dirasa semakin berat. Tapi Wangji memutuskan untuk terus maju dengan tatapan mereka yang masih saling mengunci.

"Wei Ying, kau sudah menemukan yang kau cari?"

Sampai akhirnya sebuah suara asing terdengar mendekat, membuat langkah Wangji serta merta terhenti. Apalagi ketika melihat reaksi Wei Wuxian yang langsung berubah ketika menatap pria asing itu sanggup membakar hati Wangji hingga gosong.

Panas, Wangji tidak tahan melihatnya!

"Zixuan, aku sudah selesai. Ayo pergi." Wei Wuxian menggandeng lengan pria itu dengan mesra, dan senyum yang biasanya hanya ditujukan untuk Wangji seorang kini sudah ia berikan pada orang lain selain dirinya. Wangji menatap kepergian Wei Wuxian dengan hati mencelos. Mereka berdua melewati Wangji begitu saja, seakan-akan eksistensinya invisible.

Jika saja dirinya bukan seorang Lan mungkin saat ini Wangji sudah bersikap lebay dan menangis tersedu-sedu dipojokan supermarket. Pemandangan menyakitkan yang dilihatnya barusan benar-benar sanggup memporak-porandakan hati dan pikirannya.

Ia jadi mempertanyakan lagi kesungguhannya untuk benar-benar melepaskan Wei Wuxian.

.
.
.

"Apa-apaan yang tadi itu? Menjijikan."

"Kau pikir kau saja yang jijik? Aku bahkan harus menahan diri agar tidak muntah didalam sana."

Jin Zixuan memasukan belanjaan mereka kedalam bagasi mobil cukup kasar lalu beralih menatap Wei Wuxian dengan alis memicing, "Kau yang tiba-tiba memeluk lenganku!"

"Lalu aku harus memeluk siapa? Petugas satpam buncit disana begitu?! Itu akan membuat harga diriku turun karena dianggap menurunkan standar oleh si brengsek itu!"

Zixuan memutar bola matanya jengah karena selalu kalah jika berdebat dengan si keras kepala Wei Wuxian. Mereka masuk ke dalam mobil dengan Wei Wuxian yang sibuk memakan es krimnya dengan gragas.

"Ah, apa dia mantan yang sudah mencampakkan mu itu? Kasihan sekali, ckck." Ejek Zixuan sambil memasang wajah menjengkelkan.

Wei Wuxian menjatuhkan kepalanya ke sandaran mobil dengan wajah yang tampak kesal, "Pasti Jiang Cheng si mulut ember yang sudah mengatakan itu padamu!"

"Bukan, tapi kakakmu."

"Untuk apa kakak ku menceritakan hal tidak berguna seperti itu padamu?"

Zixuan mengecek layar LED mobilnya untuk memastikan tidak ada kendaraan lain yang melintas saat akan keluar dari area parkir, "Dia menceritakannya pada A Li." Jawabnya santai, masih fokus untuk keluar dari area parkir.

"Oh benar, kau kan sudah menikah dengan jiejie. Maaf, aku masih belum merestui kalian sepenuhnya jadi lupa." Katanya diakhiri dengan senyuman sok polos. Pada tahap itu Zixuan ingin sekali merobek wajah menjengkelkan Wei Wuxian.

Sejak dulu mereka hampir tidak pernah bisa akur. Apalagi sejak kejadian dimana Zixuan pernah menolak Jiang Yanli karena sebuah kesalah pahaman. Alhasil kedua adik gadis yang kini sudah menjadi istrinya itu semakin gencar menguarkan aura permusuhan. Bahkan setelah Zixuan mengakui kesalahannya dan akhirnya mereka menikah, baik Jiang Cheng maupun Wei Wuxian masih selalu mengawasi dan bersikap seakan-akan mereka adalah musuh abadi.

"Kau tau kau itu sangat menyebalkan?" Sindir Zixuan.

"Tidak perlu mengingatkanku, aku tau dan aku bangga karenanya." Jawab Wei Wuxian cuek sambil memainkan seat belt yang melilit tubuhnya.

Zixuan mendengus dan melajukan mobilnya dalam kecepatan cukup tinggi. Dia harus segera bertemu dengan istrinya untuk mengenyahkan aura-aura negatif karena harus terjebak bersama Wei Wuxian.

.
.
.

Tebece

Pendek banget yes, maapkan wkwk

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Boy Meet BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang