Sudah satu tahun berlalu tapi Airy belum menunjukkan tanda tanda akan kembali ke rumahnya. Setiap hari, Laut akan menyempatkan diri untuk duduk di kursi taman yang dulu Donghae buat khusus untuk mereka agar mereka bisa bebas untuk mengobrol. Laut menatap pohon yang berdiri kokoh di depan rumah Airy dan tersenyum kecil.
"Mas, kalo kita menikah nanti, kita cari rumah yang ada pohon seperti ini ya? Jadi nanti kita bisa duduk dibawahnya dan membicarakan banyak hal. Mas mau kan?"
Laut mengusap pipinya dengan kasar. Selalu seperti ini, ia akan selalu menangis jika mengingat Airy yang tak kunjung kembali. Setiap hal yang ia lihat selalu mengingatkannya pada kekasihnya itu.
"Laut? Kamu belum mau pulang nak? Ini sudah mulai malam," panggil nenek Shin. Laut hanya mengangguk dan beranjak dari tempatnya. Ia berbalik untuk menatap pohon itu.
"Besok aku akan kembali lagi kesini. Sekarang aku harus pulang, nenekku sudah menungguku," ucap Laut dan langsung menghampiri nenek Shin.
Hubungannya dengan sang ibu sudah mulai sedikit membaik. Wanita yang masih terlihat cantik itu sudah tidak pernah membicarakan tentang Rose di depan Laut, ia lebih sering menanyakan tentang kegiatan kuliah anaknya itu.
Begitu masuk ke dalam rumah, Laut bertemu pandang dengan seorang laki laki yang tidak ia kenal sebelumnya. Ia menatap heran pada pria yang menatapnya dengan tatapan yang sulit untuk dimengerti.
"Anda siapa?" tanya Laut.
"Perkenalkan, nama saya Minho. Saya adalah ayah dari Roseanna," jawab pria itu.
"Apa yang Anda lakukan di rumah saya? Kalo Anda ingin mencari putri Anda, Anda salah tempat. Putri Anda tidak ada di rumah ini," ucap Laut kembali.
"Saya tau. Kedatangan saya kesini bukan untuk mencari Rose. Maksud kedatangan saya adalah ingin meminta tolong."
"Meminta tolong? Meminta tolong apa?"
"Rose hamil dan dia tidak memberi tau saya siapa orang yang telah melakukan hal itu padanya. Saya ingin meminta kamu untuk bertanggung jawab, saya akan melakukan apapun agar kamu mau melakukannya," ucap pria itu.
"Anda meminta saya untuk bertanggung jawab atas apa yang tidak saya lakukan? Dimana akal sehat Anda? Apa Anda sudah gila?" tanya Laut.
"Nak, jangan berbicara seperti itu. Bagaimana pun Minho itu lebih tua dari kamu," tegur Tiffany.
"Tua tapi tidak punya akal sehat buat apa? Tidak ada gunanya sama sekali," jawab Laut.
"Saya tau saya lancang. Tapi tolong bantu saya, saya tidak ingin Rose hidup dalam kebimbangan seperti ini."
"Saya tidak mau. Saya tidak peduli apapun alasannya. Silahkan Anda pergi dari rumah ini dan jangan pernah menemui saya atau keluarga saya lagi. Jika Anda masih berani menunjukkan wajah Anda di hadapan saya, saya bersumpah akan membunuh Anda dan seluruh keturunan Anda," ucap Laut tegas.
"Laut, jaga ucapan kamu. Minho datang ke rumah kita dengan baik baik. Tidak seharusnya kamu berbicara seperti itu," tegur Tiffany lagi.
"Lalu aku harus apa, Ma? Bersikap sopan pada orang yang tiba tiba datang dan meminta aku untuk menikahi putrinya? Aku tidak sudi melakukannya." Laut naik ke lantai atas dan langsung masuk ke dalam kamarnya.
Kenapa hidupnya tidak pernah tenang? Kenapa selalu saja ada orang yang ingin membuatnya merasa tertekan? Apa orang orang itu ingin membunuhnya secara perlahan? Laut tidak bisa menghentikan segala pikiran yang menghampiri otaknya. Dia memukul mukul kepalanya dan berharap jika semuanya menghilang begitu saja.
"Minho, maafkan Laut ya? Dia sedang berada di titik terendahnya. Itu kenapa bersikap kasar kepadamu," ucap Tiffany.
"Tak apa, kak. Aku bisa memahaminya. Tapi kak, bisakah kau membujuk Laut untuk menikah dengan Rose? Setidaknya sampai Rose melahirkan. Setelah saatnya tiba, Laut bisa menceraikan Rose. Setidaknya anak yang dikandung oleh Rose memiliki seorang ayah yang jelas," ucap Minho kembali.