Prolog

123 23 3
                                    

****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*
*
*
*

    Ilyas merengangkan otot-ototnya setelah seharian berkerja. Ia mengangkat tangan kirinya untuk melihat jam berapa sekarang. Ilyas menyandarkan tubuhnya di kursi, rasa lelahnya sudah tak tertahankan lagi.

"Melelahkan sekali mencari biaya masa depan."

Ilyas mengambil ponselnya dalam saku celana, dia menatap ponsel yang ia nyalakan.

Terdapat 3 panggilan tidak terjawab dari Benny. Mungkin saja ada sesuatu yang perlu Benny bicarakan padanya. Namun, Ilyas hanya mengabaikannya. Hingga Benny kembali menelfonnya.

-Via Telefon-

"Hallo?"

"Apa kamu sudah pulang?" Tanya Benny.

"Belum." Jawab singkat Ilyas.

"Apa tempat kerjamu ingin memperbudakmu? Ini sudah jam 10 malam. Bersiaplah, aku menjemputmu sekarang." Teriak Benny menutup telfonnya. Ilyas menghela nafas panjang.

lalu bersiap untuk pulang.

"Kenapa orang-orang selalu saja berteriak?" Ucap pasrah Ilyas.

****

20 menit berlalu, sebuah mobil sedan memasuki parkiran kantor dimana Ilyas sedang menunggu.

"Ayo masuk bodoh" Ajak Benny
Ilyas bergegas membuka pintu mobil lalu menutupnya kembali.Tidak lupa memakai safetybelt sebelum mobil melaju.

"Bagaimana harimu?" Tanya Benny memecahkan keheningan.

"Tidak buruk." Ilyas jawab
seadanya.

Benny menatap Ilyas sekilas lalu kembali fokus menyetir.

"Kamu masih memikirkannya?" Tanya kembali Benny.

Ilyas tetap menatap lurus enggan menengok kearah Benny.

"Apa yang kamu katakan?" Balas Ilyas tenang.

"Aku tahu, kamu masih memikirkan Anand---"

"Cukup!" bentak Ilyas.

"Kamu tahu, kenapa aku disini. Dan kamu sangat paham kenapa aku lari. Jadi berhenti membicarakanya" Sambung Ilyas dengan Emosi menggebu.

Benny menarik nafas dalam lalu membuangnya pelahan. Ia sangat tahu, penderitaan sahabatnya itu. Situasi ini mengubah emosionalnya, dia hanya bisa berdoa agar sahabatnya itu menemukan kebahagiaannya sendiri tanpa harus menyimpan rasa sakit.

" Jantan yang menyedihkan." Lirih Benny melihat Ilyas.

Benny menarik nafas dalam lalu membuangnya pelahan. Ia sangat tahu, penderitaan sahabatnya itu. Situasi ini mengubah emosionalnya, dia hanya bisa berdoa agar sahabatnya itu menemukan kebahagiaannya sendiri tanpa harus menyimpan rasa sakit.

Rintik hujan membasahi kaca depan mobil Benny, Ilyas merasa heran kenapa turun hujan dimusim kemarau. Ilyas menurutkan kaca mobil untuk memastikan. Dan benar, hujan. Lalu ia menutup kacanya kembali.

"Apakah di sana juga hujan? Semoga saja kamu baik-baik saja. Jangan khawatir, guntur tidak akan berani melukaimu. Tutup telinga dan jangan panik." Bisik Ilyas tidak terdengar oleh Benny.

"Kita akan kemana?" Tanya tiba-tiba Ilyas ke Benny.

"Kita akan berpesta, ini akan menyenangkan" Ucap antusias Benny.

"Ada siapa saja?" Tanya Ilyas seperti mengkhawatirkan sesuatu.

"Tidak banyak, hanya berempat. Aku, kamu, Adit dan Ariel" Jawab jujur Benny.

"Kenapa? Kamu mau mengundang orang lain? Seperti wanita?" Benny menekan kata wanita pada kalimatnya.

"Hmm--apa yang kamu bicarakan?" Ucap gugup Ilyas.

"Tidak, hanya ingin bilang saja" Balas santai Benny.

Mobil Benny sudah memasuki perkarangan penginapan dimana mereka akan menghabiskan malam yang panjang. Melewatinya tanpa rasa overthinking menyelimuti. Masa muda berharga untuk dijadikan kesia-siaan waktu. Menikmati lebih baik dengan rasa pahit daripada diam dengan rasa pahit.

***

Di sisi lain, ada seorang gadis cantik sedang lakukan panggilan video call dengan earphone terpasang di kedua telinganya. Duduk manis di meja belajar sembari mengutak-atik satupersatu bukunya. Dia sudah cukup bekerja keras untuk melakukan yang terbaik,ujiannya perlu mendapatkan nilai yang maksimal.

"Sudahlah yang, istirahat dulu." Ucap pria di seberang sana.

"Sedikit lagi." Balas si gadis yang tetap membaca buku-bukunya tanpa melihat pria itu.

"Ayolah! apa sepanjang malam aku hanya akan melihatmu bertatap-tatapan dengan buku sialan itu? Ini sudah 2 jam, Ananda." Ucap pria sedikit menaikan nada suaranya. Ananda menaruh bukanya dengan pelan lalu melihat kearah ponselnya yang terdapat muka sang pria.

"Baiklah, jadi apa harus kita lakukan?" Tanya Ananda, dengan tangan kiri yang
diletakkan di dagu, pria itu seolah sedang berpikir.

"Bagaimana kalo aku menggombalmu?" Serunya. Spontan, tawa Ananda pecah mendengar itu.

"Lakukan, Adan." Balas Ananda.

"Hmm.. hmm... Kamu tahu tidak kenapa aku ingin menjadi bintang?" Tanya Adan. Ananda memikir jawabannya hingga menyerah.

"Tidak tahu." Jawab Ananda. Wajah Adan sedikit memerah, ia menggeser ponselnya agar wajarnya dilihat dengan jelas oleh Ananda.

"Aku ingin jadi bintang karena aku ingin kamu selalu tetap aman di malam hari,
monster-monster tidak berani mendekatimu." Ucap serius Adan. Mimik wajah Anandasedikit kebingungan. Namun, tetap saja tertawa.

"Hahaha, kamu konyol. Kenapa bukan jadi ang---" Ananda menghentikan ucapannya dan pikirannya mulai melayang-layang.

"Ananda.."

"Ananda....."

"Yakkk Ananda, kamu kenapa?" Bentak Adan melihat Ananda hanya berdiam diri.

"Tidak papa, ini sudah larut. Ayo kita tidur, besok kamu maupergi, kan?" Ucap Ananda.

"Baiklah, kamu tidur ya."

"Lov------ " Belum selesai ucapan Ananda, Adan telah lebih dulu menutup telfonnya."--e you."

"Pada akhirnya memang benar, semua orang itu berbeda-beda." Lirih Ananda.

***

Menjadi Seperti AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang