Sang photographer

74 19 6
                                    

****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*
*
*
*

..What if we rewrite the stars?
Say you were made to be mine,

"Idiot, kamu sudah sangat mabuk." Umpat Benny yang sedang membopong tubuh Ilyas yang sudah dalam keadaan mabuk berat ke dalam kamar.

It feels impossibleIt's not
impossibleIs it
impossible?
Say that it's possible...

"Jangan teriak, bukan hanya kamu yang punya telinga!!." Bentak Benny membuang tubuh Ilyas ke tempat tidur, melihat Ilyas yang terus ngelantur membuatnya pusing.

Benny memijat batang hidungnya untuk mengurangi rasa pusingnya.

“Kenapaa---,”

"Kenapa dunia ini tidak adil? Disaat kamu sudah merasa cocok dengan seseorang malah dipisahkan." Lantur Ilyas masih dalam keadaan mabuk, Benny mendekatinya dan duduk tepat di sampingnya. Ia mengambil tangan Ilyas dan menggenggamnya, ikut prihatin dengan keadaan temannya itu. Ilyas mulai terisak.

"Apa Tuhan tidak mengerti kalau mungkin hampir sebagian umatnya akan merasakan hal yang sama sepertiku? Mencintai orang lain karena terbiasa. Namun, tidak pernah benar-benar mencintai. Melanjutkan kehidupan, menjalani hari dengan orang yang tidak kita inginkan rasanya seperti berjalan setiap hari di neraka" Ilyas terduduk tanpa melepaskan genggaman Benny padanya. Ia menatap Benny sekilas, Benny melihat jelas mata merah Ilyas karena efek mabuk ditambah tangisan. Ilyas menunduk, tangisannya kian deras.

"Jika memang dia bukan untukku, kenapa dia hadir membuat hatiku hangat." Benny terus mentapnya dengan tatapan sayu.

Ruangan itu hanya terdengar suara tawa hambar dan isak tangis Ilyas.

"Ha ha ha.. Rasanya ingin menghilang saja. Sudah bertahun- tahun aku belum bisa melupakan rasa cintaku, disaat aku menangisinya mungkin saja dia sedang bercumbu dengan pria lain di luar sana. Ironis." Ucap panjang Ilyas seakan membuang semua kegelisahan yang selama ini ia rasakan, Benny menghela nafas panjang, tangan kanannya masih setia menggenggam tangan Ilyas. Saat seperti ini, ia tidak tahu harus melakukan apa dan harus bagaimana.

"Tenanglah Ilyas, ini belum berakhir. Jika kamu benar mencintainya, datang dan temui dia sebelum semua terlambat. Lebih baik kamu malu sekian detik daripada harus menangis seumur hidupmu. Terus-menerus memendam perasaanmu padanya tidak akan membuatmu lebih baik, masih ada waktu.” Ucap lembut Benny.

"Kalau takdir memang tidak berpihak padamu, setidaknya dia tahu, kamu mencintainya---,"

"Lagu Rewrite the stars, tidak akan menolongmu." Sambung Benny membuat mereka tertawa bersama.

***

   Suasana kampus terlalu ramai hari ini. Di salah satu sudut kampus, ada tiga orang gadis tengah tertawa riang setelah menghadapi ujian yang menegangkan. Taman kampus adalah tempat favorite mereka.

Menjadi Seperti AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang