Bab. 8 : Tak Dibutuhkan

475 75 7
                                    

Terlihat Sosok orang yang paling kutunggu, telah sadar bahkan sedang berdiri di dekatku. Tapi anehnya, aku merasa agak kecewa dengan keajaiban yang datang pada waktu yang tidak tepat. Yah, setidaknya sekarang aku tau. Kenapa mereka semua sudah kembali seperti sedia kala, sia-sialah semua hasil usahaku.

"Kapan kau bangun, Solar?" tanyaku pada adik bungsuku, Solar.

"Um... Sekitar dua hari yang lalu," jawabnya dengan tenang.

Dua hari lalu adalah waktu di mana aku masih menghilang, dan dua hari juga sudah cukup bagi Solar mengembalikan semuanya seperti normal. Bahkan Halilintar yang mudah emosi juga sudah tenang, seperti sebelumnya berkat anak ini.

"Yang lebih penting, dari mana saja bang Taufan?" tanya Solar sambil berjalan mendekatiku.

Setidaknya aku harus bersyukur terlebih dahulu. Berkat Solar, Halilintar tidak terlalu marah padaku. Dan bersyukur karena akhirnya dia sudah terbangun dari tidurnya yang panjang.

"Nginap di rumah teman," jawabku asal.

Mereka tidak boleh tau kejadian yang menimpaku. Aku juga tidak mau Tok Aba dan Abang tertua jadi khawatir. Pada akhirnya, aku memang harus merahasiakan semua cerita yang kulalui, selama beberapa hari di ruang yang menyebalkan itu.

"Bang Taufan? Kau tidak apa? Wajahmu pucat?" tanya Duri yang baru saja melepas pelukannya.

"Aku tidak apa, hanya butuh istirahat saja."

"Kalau begitu biar aku antarkan ke kamar," ucap Solar menawarkan bantuan.

Aku menerima tawarannya, lalu lekas pergi menuju kamarku yang berada di lantai dua. Solar berjalan lebih dulu di depanku, sedangkan diriku berjalan mengikutinya dari belakang.

Punggungnya yang tegap, wajahnya yang bersih, bahkan ia sudah bisa berjalan dengan baik. Aku bersyukur bisa melihatnya bangun, tapi... Kenapa hatiku terasa sesak?

Seolah adikku baru saja merebut sesuatu dariku?

Ah, tidak. Dia memang sudah merebutnya, semua usahaku untuk membuat kondisi keluarga ini membaik, sudah jadi sia-sia. Semua yang kulalui demi mereka, hilang seketika hanya karena dirinya telah bangun. Mereka bahkan bisa tertawa riang tanpa batuan dariku.







Apakah....
















Aku memang sudah tidak diperlukan lagi?







Tap

Suara langkah kaki terhenti terdengar, aku menatap lantai dengan tatapan sendu. Memikirkan semua itu membuatku merasa kesal sendiri. Selain gagal menjadi saudara, impianku juga sudah terasa tak berguna lagi.

"Bang?"

Solar menghentikan langkahnya, melihat ke arahku yang tiba-tiba berhenti. Tanpa menghiraukannya, aku segera berlari melewati dirinya dan langsung menuju kamarku, lalu mengunci pintu begitu saja.

"Eh, ada apa bang? Buka pintunya!"

Suara dentuman pintu terdengar jelas, berusaha memaksaku agar membukanya. Namun aku tidak bisa. Jika aku membukanya, aku takut... Aku akan membenci saudaraku sendiri.

Jika aku membencinya, untuk apa perjuanganku selama ini?

"Tolong ... biarkan aku sendirian ..." ucapku sambil berusaha menahan tangisan.

Tidak lama kemudian, suara itu menghilang. Membiarkan kesunyian menemaniku seorang diri di ruangan ini.

"Baiklah, tapi... Tolong segera keluar ya. Sebentar lagi kita akan makan bersama, mereka pasti sedang menunggumu di bawah," ucap Solar sebelum pergi.

Menunggu? Jangan seenaknya bicara dasar bodoh. Kau tidak tau kesulitan yang kudapatkan selama kau tertidur pulas.

Argh, sudahlah. Aku harus istirahat. Terlalu lama di ruang itu, rasanya membuatku jadi gila. Aku bahkan hampir membenci saudaraku sendiri, karena wanita itu.

Tidak.

Berhentilah menyalahkan segalanya, aku tidak boleh terus saling menyalahkan. Yang harus kupikirkan sekarang adalah solusi agar diriku bisa tenang.

Dan hanya ada satu cara, yaitu tidur. Terkadang tidur juga dapat memulihkan beberapa pikiran, selama tidak berlebihan kurasa tak masalah.

Aku mulai melangkahkan kaki menuju kasur, lalu merebahkan diri di atasnya. Teksturnya yang lembut, mampu membuat siapapun jadi tergoda dan akhirnya tertidur pulas.

•••

"Mana Taufan?" tanya Halilintar ketika melihat Solar yang turun seorang diri.

"Sepertinya dia tidur, wajahnya terlihat mengantuk tadi," ujar Solar setengah berbohong.

Solar tau apa yang sedang dirasakan Taufan saat ini, karena dirinya pernah mengalami hal yang sama dengannya. Meski pada akhirnya yang menyelesaikan semua masalahnya adalah Solar dari dunia lain.

Jadi tak heran, jika Solar justru membantu menyembunyikan fakta bahwa Taufan sedang tidak stabil.

"Cih, anak itu. Sudah pulang tetap saja bikin orang khawatir," ucap Halilintar sambil menggebrak meja.

Gempa yang tak suka dengan perilaku abangnya, mulai membuka suara. "Tidak baik bilang gitu. Setidaknya kita harus bersyukur dia sudah kembali dalam kondisi yang baik, lalu Solar juga sudah bangun."

"Aku tau. Tapi anak itu..."

Tidak ingin menambah masalah, Halilintar hanya bisa menghela nafas kasar.

"Sudahlah semua, mau berantem sampai kapan? Ingatlah, penyebab dirinya kabur itu salah kalian semua," ujar Ais ketika melihat pertingkaian itu.

Sebenarnya Solar juga sudah lelah dengan sifat mereka. Meski dia selalu dalam kondisi koma, dia selalu bisa mendengar suara saudaranya. Khususnya suara ketika Taufan dan Halilintar bertengkar di dalam kamar. Dia tidak ingin, anak kedua itu menanggung semua beban itu lagi.

"Sudahlah, daripada saling menyalahkan. Lebih baik diam. Sebelum Taufan kembali murung, karena ulah kalian semua," lerai Solar menyudahi pembicaraan saudaranya.

Ruangan menjadi hening, karena tidak ada yang berani berbicara. Halilintar juga enggan berbicara banyak, begitu pula dengan yang lain. Melihat itu semua, Solar hanya bisa menghela nafas panjang dan menatap piringnya yang kosong.

Solar jadi teringat dengan dua hari yang lalu, tepat setelah ia bangun. Ia melihat rumahnya yang hampir saja hancur setengah. Jika dirinya tidak bangun saat itu, entah apa yang akan terjadi selanjutnya.

Meski Solar berhasil membuat keluarganya bertingkah seperti biasanya, bukan berarti dia telah menyelesaikan semuanya. Walau semuanya sudah bisa tertawa lagi, dia masih belum bisa menghilangkan kebencian yang ada di hati saudaranya.

"Hah ... Sepertinya, ini akan jadi konflik yang panjang ...," gumam Solar sambil menatap ke luar jendela.

Langit dengan kegelapan yang tak terbatas, membuat hatinya bertanya-tanya. Sampai kapan kegelapan yang ada di hati kembarannya itu ada? Khususnya kebencian Halilintar terhadap Taufan.

•••











Hai, hai! Sorry ya chapter kali ini pendek.
(⁠'⁠;⁠ω⁠;⁠`⁠)

Semoga kawan² suka dan selamat menunggu.

.

SANG PAWANA [END S.2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang