"Taufan. Oi ... Taufan, tunggu."
Suara derap kaki terdengar mengikutiku dari belakang, sambil berusaha memanggilku yang kian menjauh darinya. Namun, aku tidak menghiraukan semua itu dan terus melangkah menuju kamar.
Tak peduli lagi dengan adikku maupun Halilintar, bahkan suara panggilan itu hanya bagaikan angin berlalu. Semua tatapanku kosong, tak bisa memikirkan apapun lagi. Berat, sakit, sedih, takut dan semua perasaan itu bercampur menjadi satu dalam seketika, membuatku semakin kesulitan memikirkan sesuatu yang positif.
Tap
Tak lama kemudian suara panggilan itu terhenti, lalu sebuah tangan meraih pundakku dan memaksaku untuk menoleh ke arahnya.
"Taufan ... A-aku ... "
Anak bermanik silver itu berbicara dengan tergagap, sambil memandangku dengan tatapan penuh khawatir.
"Ini bukan salahmu," ujarku pelan dengan suara yang agak serak.
Aku tau, saat ini Solar merasa semua yang sedang terjadi sekarang adalah karena ulahnya. Tapi nyatanya tidak, karena pada akhirnya semua yang terjadi tidak akan berubah. Mau dengan adanya Solar dari dunia lain atau tidak.
"Tapi aku ... Karena aku. Kau, Halilintar dan semuanya ... Ikatan kalian semua hancur. Aku bahkan belum pernah melihat Halilintar semarah itu, dan kau juga terlihat ...."
Tak mampu melanjutkan kalimatnya, Solar lebih memilih untuk diam. Tidak lama kemudian, ia melepas pegangannya lalu menatapku sendu dari balik kacamata kesayangannya.
Kalau aku sedang dalam kondisi terbaikku, pasti anak itu sudah kuhibur sejak tadi. Tapi, sekarang aku sudah lelah. Bercanda saja sudah malas, bicara jadi semakin enggan, karena semua yang kulakukan pada akhirnya hanya akan menjadi kesalahan.
Tapi, kenapa ... Halilintar tadi sampai membawa-bawa ibu? Kematian ibu tidak ada hubungannya denganku! Dan yang terjadi waktu itu semuanya adalah murni kecelakaan.
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur, menatap langit-langit rumah tanpa bisa memikirkan apapun. Udara malam yang dingin sudah tak berarti, bahkan aku tidak bisa memikirkan tentang wanita gila itu lagi.
Ah, sudahlah. Mungkin memang lebih baik aku mati. Tapi sayangnya, aku tidak mau mati di tangan ilmuwan gila yang siap membedahku kapan saja.
Krieeet ....
Suara pintu ditutup dapat terdengar jelas, aku menoleh ke arah sumber suara dan terlihat Solar yang sedang berdiri mematung di sana.
Anak itu terlihat sangat frustasi, bahkan gagang pintu itu terlihat seperti meringis kesakitan. Tak lama kemudian, Solar melepas genggamannya dan meraih lengan di mana jam kuasa itu berada. Seolah sedang mencoba menghubungi seseorang.
Sebuah hologram muncul, namun hanya sebuah layar hitam rusak yang terlihat. Ia terus berusaha mencari koneksi untuk menghubungi entah siapa itu.
Dan ketika layar hitam itu tak kunjung hilang, wajah anak itu semakin tambah frustasi. Lalu membanting tubuhnya ke atas kasurnya, sembari mengacak rambut coklat itu hingga kusut.
"Sudahlah, pasrah aja," ucapku.
"Tidak ... Aku tidak boleh berhenti di sini."
Kupikir dia akan berhenti mencoba jika aku berkata demikian. Karena berharap pada sesuatu yang tidak pasti, hanya akan membuatmu sakit hati dan kecewa. Seperti aku yang terlalu berharap, agar kembaran tertua itu memahami semua tindakanku.
Tapi kenyataannya, dia tidak pernah memahaminya. Dan itulah sifat yang paling kubenci darinya, sifat tak peka dan overprotektif itu sangat membuatku tak nyaman. Walau niatnya baik, jika itu berlebihan ... Tetap saja tidak akan ada orang yang mau menerimanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANG PAWANA [END S.2]
Fanfiction[Lanjutan dari cerita "SANG MENTARI"] Anak dengan manik sapphire itu menatap langit malam dihiasi bintang yang berkelap-kelip, sembari mengingat kejadian yang belum lama terjadi. Sebuah kejadian yang tak terduga itu cukup membuat banyak keributan. A...