Langit mulai gelap, aku dan Blaze segera meninggalkan sekolah. Untungnya hujan sudah mereda sebelum malam tiba, jadi kami bisa pulang ke rumah tepat waktu. Blaze yang tadi sempat menangis juga sudah mulai tenang dan kembali cerewet.
Dia bercerita tentang apa yang terjadi ketika aku menghilang. Jujur saja, aku terkejut mendengarnya. Apalagi ketika tau, apa yang dilakukan Halilintar pada rumah tersayang milik tok Aba.
"Habis tuh... Bang Hali ngamuk, karena kami menolak usulannya untuk melaporkan ke pihak polisi."
"Eh? Kenapa?"
"Yah ... Habisnya, kami percaya kalau Abang bakalan balik."
Mendengar kalimat itu, aku jadi ingin memberikan tinju satu per satu pada saudaraku. Padahal melaporkan ke pihak polisi itu adalah pilihan yang tepat, tapi mereka malah menolaknya karena alasan itu.
"Dan untungnya, Solar bangun di saat yang tepat. Jadi bang Hali langsung berhenti mengacaukan rumah, kalau aja Solar gak bangun..."
"Semuanya akan baik-baik saja, kan?" gumamku pelan disela ceritanya.
Saking pelannya suaraku, Blaze tidak mendengar kalimat itu. Namun ia merasa aku baru saja mengucapkan sesuatu, lalu segera menoleh ke arahku. Melupakan cerita yang baru saja ingin ia sampaikan.
"Eh, abang tadi ngomong apa? Maaf, Blaze gak denger bang," ujar Blaze terkekeh.
Aku tersenyum ke arahnya, lalu menggelengkan kepala pelan. "Tidak ada."
Yah, mana mungkin aku mengucapkan kalimat tidak manusiawi tadi padanya. Sebuah kalimat dengan harapan agar adik sendiri tertidur selamanya, sama saja mengharapkannya mati. Jika Blaze mendengarnya, kuyakin dia akan kecewa dan marah padaku.
"Bang Taufan, Blaze," seorang anak dengan sweater biru yang menyelimuti tubuhnya mulai menyapa kami.
Dirinya berjalan pelan mendekati kami dengan salah satu tangannya yang memegang payung.
"Kenapa kalian baru pulang?" tanya Ais, anak dengan sweater biru tadi.
"Habis nunggu hujan reda," balas Blaze santai.
"Lah, kan bisa mandi hujan atau pakai payungmu, Blaze."
"Ah... Bang upan nyuruh nunggu hujan reda, jadi kutunggu."
Hmm? Tunggu... Abaikan ucapan Blaze yang baru saja menyalahkanku. Tapi, apa maksudnya ucapan Ais tadi?
Merasa ada sesuatu yang ganjil, aku menatap Blaze tajam meminta penjelasan. Sedangkan yang ditatap hanya cengengesan tidak jelas, dengan ekspresi memelas minta maaf.
"Kau bawa payung, Blaze?" tanyaku dengan nada menyelidiki.
"Um, hehe ... iya bang."
"Kenapa gak bilang dari tadi?"
"Lah, Abang aja gak nanya. Buat apa kuberitahu?"
Blaze mulai melangkahkan kakinya, menyusul Ais yang berjalan semakin menjauh. Aku hanya bisa menatap Blaze dengan tatapan tak percaya. Anak itu memang suka menyebalkan dibeberapa waktu tertentu.
"Omong-omong Ais, sedang apa kamu di sini?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
"Aku? Disuruh Solar. Dia bilang tidak baik meninggalkan kalian terlalu lama, lalu menyuruhku menjemput Abang sama Blaze," jelas Ais.
Solar lagi... sudah kuduga, ada sesuatu yang disembunyikan olehnya. Lagipula, kenapa juga anak itu masih mengkhawatirkan diriku yang sudah berniat menghabisinya?
Solar yang kukenal tidak akan keras kepala sampai begini, apalagi aku telah mengatakan hal jahat itu padanya. Seharusnya Solar yang kukenal, dia akan ketakutan dan akan menjadi agak cuek.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANG PAWANA [END S.2]
Fanfiction[Lanjutan dari cerita "SANG MENTARI"] Anak dengan manik sapphire itu menatap langit malam dihiasi bintang yang berkelap-kelip, sembari mengingat kejadian yang belum lama terjadi. Sebuah kejadian yang tak terduga itu cukup membuat banyak keributan. A...