Bab. 7 : Tak Menentu

466 80 9
                                    

Setelah sekian lama kami berlari, akhirnya aku dan Vicky berhasil kabur dari wanita tadi. Merasa sudah tak mampu untuk berjalan lagi, aku memilih untuk duduk di pinggir jalan.

"Hei, ayo. Jangan berhenti di sini! Bagaimana jika orang itu menyusul kita?" ujar Vicky sambil berusaha menarikku untuk bangun.

"Istirahat dulu.... energiku... sudah habis nih. Cape woi..." balasku dengan suara terengah-engah.

"Cih, nih anak."

Pada akhirnya, mau tak mau Vicky harus mendengarkan kemauanku. Apalagi setelah melihat wajahku yang pucat, dia pasti akan segera setuju untuk membiarkanku istirahat.

"Baiklah, tapi duduklah di sana. Jangan dipinggir jalan!" ujarnya sembari menunjuk ke arah bangku taman.

Aku segera berjalan menuju bangku dan merebahkan diri di atasnya. Semilir angin mulai menyapaku, helaian rambut bergoyang-goyang. Udara dingin menerpaku membuat semua rasa lelah itu menghilang.

"Omong-omong gimana kamu bisa di sini? Bukannya kamu sama Carlos lagi dipenjara?" tanyaku yang baru saja ingat permasalahanku dengannya.

"Tentu saja, karena aku kabur dari penjara."

Terkejut mendengar pernyataan itu, spontan aku langsung bangun dan memposisikan diri untuk duduk.

"Jangan salah paham. Aku kabur untuk menyelesaikan masalahku," ujar Vicky sambil menyilangkan tangannya di depan dada.

"Masalah?"

Bingung dengan maksud ucapannya, aku hanya bisa memiringkan kepalaku sedikit. Sebagai tanda tak mengerti dengan apa yang dibicarakan olehnya.

"Ya, masalah soal wanita tadi. Aku baru ingat kalau dia terlalu berbahaya untuk dibiarkan. Jadi mau tak mau, aku harus kabur untuk mengatasinya. Lagipula tidak akan jadi masalah jika hanya sebentar kan?"

Otakku mulai memproses maksud ucapannya. Beberapa detik berlalu, aku akhirnya menyadari sesuatu.

"Ka-kau kenal wanita itu?!"

"Eh, um ... Ya, tentu. Lagian dia adalah guru kimia kami."

Aku hanya bisa menatap anak di depanku tak percaya. Tidak kusangka, wanita gila itu adalah gurunya. Pantas saja Carlos semakin menjadi, gurunya saja sudah begitu apalagi muridnya.

"Lalu kenapa kau menolongku?" tanyaku yang masih penasaran dengan tujuannya.

"Karena aku berutang Budi pada saudaramu, khususnya pada Solar dan Gempa. Jika bukan karena Gempa, hukumanku mungkin tidak dapat keringanan. Dan Solar ..."

Sejenak ia terdiam, lalu menghela nafas panjang. "Solar sudah sangat membantuku menghentikan aksi Carlos. Walau aku sudah mengganggu kehidupan kalian, dia tetap saja mau membantuku. Aku salut padanya."

Ah, benar juga... Vicky tidak tau, jika Solar yang itu berasal dari dunia lain. Mungkin dia sudah membantu memperbaiki beberapa masalah, khususnya menghentikan para pembully itu.

Tapi, berkat anak itu. Keluargaku sekarang jadi berantakan, bahkan Solar adikku sedang dalam kondisi koma. Aku saja sudah tidak bisa membayangkan wajah saudaraku, setelah lama menghilang tanpa kabar.

"Sudahlah, ayo cepat kita pulang. Kau juga butuh istirahat," ujar Vicky mulai berjalan menjauh dariku.

Takut jika wanita gila itu muncul lagi, aku bergegas mengikuti anak itu. Walau sebenarnya agak enggan kembali ke rumah, tapi ini lebih baik di daripada harus berada di ruangan menyebalkan itu.

•••

Rintik air mulai berjatuhan, tanda sebentar lagi hujan tiba. Rumahku juga sudah mulai terlihat jelas, perasaan gugup dan takut bercampur menjadi satu.

"Oh, ya. Tutupi pergelangan tanganmu dengan ini," ujar Vicky menyodorkan sehelai kain ke arahku.

"Eh, kenapa?"

"Sampai aku belum menyelesaikan masalah dengan wanita itu, tanda ini tidak boleh ketahuan oleh siapapun."

"Tanda?"

Aku melihat pergelangan tangan, ternyata benar apa yang dibilang olehnya. Ada tanda seperti angin beliung di salah satu pergelanganku.

"Pastikan kau sembunyikan dengan baik. Aku khawatir, wanita itu akan menyuruh bawahannya untuk mencarimu. Kalau ketahuan, kau sendiri tau resikonya, kan?"

"Ya, aku akan dibawa kembali ke sana dan saudaraku akan terlibat."

Vicky tersenyum bangga ke arahku, "Bagus! Kalau sudah paham. Cepat pakai dan kembali ke rumah apapun keadaannya."

Aku mengangguk dan mulai berjalan menuju rumahku. 'Apapun keadaannya' mengingat kalimat itu, aku jadi heran bagaimana dirinya tau kondisi keluargaku. Yah, setidaknya apa yang diucapkan olehnya itu benar. Dengan adanya diriku di sekitar saudara kembar yang lain, akan mempersulit komplotan wanita itu untuk menangkapku.

•••

Aku memandangi rumah itu dari luar, tidak ada yang berubah seperti biasanya. Bahkan suasana di sini masih hening seperti biasanya.

"BLAZE, CEPAT KEMBALIKAN ROTIKU!"

Atau mungkin tidak.

"Hahaha ambillah sendiri," suara Blaze yang riang mulai terdengar jelas di dalam kepalaku.

Brak

Lalu tak lama kemudian terlihat Blaze yang sedang membuka pintu dan Ais berada di belakangnya. Mereka yang sejak tadi ribut langsung terdiam, menatapku tak percaya.

"Ta-Taufan?"

Suara yang tak asing terdengar dari belakangku, terlihat ada Gempa dan Halilintar yang baru saja pulang dari suatu tempat. Terlihat mata Gempa yang berkaca-kaca, lalu memelukku dengan erat.

"Darimana saja kau bodoh?" tanya Halilintar dengan wajah agak ganas.

Gempa melepas pelukannya, lalu menatap Halilintar dengan tatapan tak suka.

"Abang?"

"Sudahlah, bawa dia masuk. Aku mau tidur," ujar Halilintar sambil berjalan melewatiku.

Gempa hanya bisa menghela nafas, ketika melihat kelakuannya. Sedangkan aku hanya bisa termenung, tak heran Halilintar akan marah padaku setelah lama menghilang.

Tuk

"Ada apa? Cepat masuk," ulangnya setelah mengetuk kepalaku.

Melihat dirinya yang agak tenang membuatku, jadi penasaran dengan apa yang terjadi selama aku tak ada. Halilintar yang sebelumnya mudah marah dan sensitif, dalam seketika berubah menjadi tenang seperti ini. Tidak salah lagi, pasti telah terjadi sesuatu di rumah ini selama aku tidak ada.

Sebelum Halilintar marah padaku, aku segera melangkah kaki masuk ke dalam ruangan. Untungnya sebelum aku kembali, Vicky sempat membantuku merapihkan pakaian dan penampilanku. Jadi para saudaraku tidak akan sadar, jika aku baru saja terlibat dalam suatu masalah.

Terlihat ada Duri yang sedang duduk di ruang tengah, tanpa aba-aba ia langsung melompat ke dalam pelukanku. Lalu tak lama kemudian, sosok anak dengan pakaian serba putih muncul dari arah dapur.

Aku hanya bisa menatapnya tak percaya, sedangkan dia menatapku dengan tatapan lembut. Aku yang seharusnya bahagia dengan keajaiban ini, entah mengapa hatiku justru terasa agak kacau dan kecewa.

"Sejak kapan kau sadar, Solar?"

•••




Argh, maaf banget ya. Akhir-akhir ini saya lama update 😭 Terima kasih banyak yang sudah setia nunggu ceritanya 🥲.

SANG PAWANA [END S.2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang