Bab. 20 : Petunjuk

413 70 14
                                    

Beberapa hari yang lalu, di sebuah ruangan gelap. Terlihat dua anak sedang berkumpul membicarakan sesuatu.

Anak berkacamata itu hanya bisa menghela nafas berat, ketika tau rencananya masih belum sempurna. Sedangkan anak berbaju biru itu mendengus kesal dengan rencana barunya.

"Yang benar saja! Aku tidak mau!" ujarnya menolak rencana tadi.

"Hah ... Baiklah, terserah padamu. Padahal akan lebih baik mereka juga ikut tertangkap."

"Oi, satu saja sudah cukup kan? Dengar, aku mungkin tau lokasi itu. Tapi, bukan berarti bisa menyelamatkan orang sebanyak itu."

Perdebatan panjang terjadi di ruangan itu, anak bermanik silver itu hanya bisa menatapnya datar. Kesal karena usulannya selalu ditolak.

"Baiklah, dua orang."

Mendengar hal yang tak dimengerti oleh dirinya, anak berbaju serba biru menatap anak didepannya agak bingung.

"Jika hanya dua orang aman, kan? Lagipula aku bisa menjaga diriku," ujar anak berkacamata itu dengan penuh keyakinan.

"Hmm ... Yah, mungkin. Tapi kuharap anak itu tidak masuk ke dalam rencana ini, lagipula dia bukan kandidat yang bagus untuk digunakan," balas anak berbaju biru.

"Aku tau, dia tidak boleh ikut tertangkap."

"Bagus kalau kau paham, sekarang pikirkanlah cara agar yang lain curiga padaku!"

"Hah? Kupikir kau tau caranya-- ugh ...."

Baru saja anak berkacamata itu hendak mengatakan sesuatu. Kepalanya mendadak terasa sakit, dan ia perlahan kehilangan kesadaran.

"Ah, sudahlah istirahat sana. Lihat obatnya sudah bereaksi," ucap anak ber hoodie biru mengakhiri pembicaraan.

"Tapi, bagaimana caranya kita buat yang lain curiga?"

Tidak tau harus membalas apa, anak itu hanya terdiam. Berusaha memikirkan cara yang terbaik, tanpa harus melibatkan anak itu.

Keheningan terjadi, tidak ada satupun dari mereka yang bersuara. Semuanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Apalagi, mereka harus membuat rencana secepat mungkin karena waktu yang terbatas ini.

"Aku tau caranya, walau tidak seratus persen akan berhasil."

Anak berkacamata itu menatapnya penuh tanda tanya, sambil berharap ide itu bisa berhasil.

"Kita bisa manfaatkan Taufan."

.

.

.

.

•••

"Fan ...."

"Taufan!"

Sayup-sayup aku mendengar seseorang memanggil namaku, berusaha membangunkan diriku dari tidur panjang.

Perlahan aku mulai mengerjapkan mata, dan segera melihat ke sumber suara. Terlihat ada Solar yang masih tertidur, dan Halilintar yang mencoba melepaskan diri dari bangku.

"Oi, kau tak apa?" tanya Halilintar sedikit cemas.

Aku tidak pernah melihat anak itu menunjukkan kecemasannya sampai seperti itu. Memangnya apa yang sedang terjadi?

Merasa ada sesuatu yang aneh, aku segera melihat ke sekeliling dan mendapati diriku berada di tempat yang tak asing. Tidak hanya itu, ada banyak kabel yang terpasang padaku.

Aku mencoba melepaskan diri namun tidak bisa. Semua energi rasanya hilang diserap alat aneh ini.

"Ugh, tempat ini lagi."

SANG PAWANA [END S.2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang