Bab. 17: Sebuah Alasan

383 66 6
                                    

Sejak hari itu, kami semua jadi agak canggung satu sama lain. Bahkan Gempa sampai malas bicara dengan Hali, Blaze hanya asik bercanda dengan Duri, Ais hanya diam mengawasi mereka dari jauh.

Jika dilihat sekilas, kami memang masih sama seperti biasa. Tapi nyatanya tidak, karena jika dilihat lebih teliti. Blaze dan Duri agak kaku saat berbincang, Gempa jadi mirip Ais yang pendiam, Halilintar justru seperti Duri yang sedang kebingungan.

Aku menghela nafas panjang, kejadian langka ini memang sulit diatasi. Hembusan angin menerpa wajahku, membuat helaian rambut menari di atas kepala. Aku menatap langit biru itu dengan tatapan pasrah, merasa tidak masalah lagi dengan kondisi ini.

Duk!

Solar yang sejak tadi berjalan di depanku tiba-tiba saja berhenti, dan hampir membuatku terpental ke belakang.

"Aduh, hei Solar!?"

Aku merintih kesakitan karena kepalaku tak sengaja terbentur pundaknya. Namun anak itu tidak bergeming sedikitpun, dan hanya menggeleng kepala pelan sambil menggumamkan sesuatu.

"Bang Taufan? Solar? Ada apa?"

Gempa yang sejak tadi membisu mulai kembali bersuara. Segera berjalan menghampiri kami diikuti yang lain.

"Ah, tidak ada."

Solar yang baru saja tersadar dari lamunannya, langsung menjawab pertanyaan itu agak terbata-bata. Lalu menoleh ke arahku dan menatapku dengan sendu.

Senyuman lebar terukir di wajahnya, lalu mulutnya menggumamkan sesuatu. Sayangnya saat itu angin bertiup terlalu kencang, sehingga membuatku kesulitan mendengar ucapannya.

•••

Brak!

Setiba di rumah, Solar langsung menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Terlihat jelas kalau anak itu sangat mengantuk, bahkan sampai berniat tidur tanpa melepaskan seragam sekolah.

"Hmm ... Jangan bangunkan aku dulu," erangnya sambil memeluk guling kesayangan.

Aku hanya bisa menatapnya datar, kelakuannya yang satu ini memang di luar bayangan. Karena dirinya terlihat sangat enggan dibangunkan, jadi kubiarkan saja ia sendirian di kamar. Sedangkan aku berjalan menuju lantai bawah, bersiap untuk makan malam.

"Mana Solar?" tanya Ais.

"Ada di atas, lagi tidur."

Tanpa bicara lebih panjang lagi, aku segera duduk di bangku dan bersiap makan.

Keheningan mulai melanda ruangan ini, hanya suara sendok makan yang terdengar. Semuanya sibuk untuk menghabiskan makanan tanpa ada perbincangan sedikitpun.

Brak!

Di saat semuanya tengah asik makan, suara gebrakan meja terdengar. Terlihat anak bermanik merah itu menatap meja dengan kesal, dan dialah sang pelaku yang baru saja memukul meja.

"HENTIKAN SEMUA INI!"

"Abang Hali--"

Baru saja Gempa hendak memprotes tindakannya tadi, Halilintar sudah lebih dulu bicara memotong ucapannya.

"Aku sudah muak! Mau sampai kapan kita begini terus?! Kalau ada yang benci padaku bilang saja!" ujar anak itu sambil menatap kami satu per satu.

"Eh? Benci? Kami tidak benci Abang," sahut Duri.

Namun, kenyataan itu langsung disangkal oleh Gempa yang sejak tadi menatapnya kesal.

"Ya, aku membencimu."

Satu kalimat itu sukses membuat seluruh yang berada di ruangan ini terdiam mematung. Aku sendiri hanya bisa menatapnya takut, apalagi Gempa adalah tipikal anak yang tidak pernah berkata begitu.

SANG PAWANA [END S.2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang