Hembusan angin mulai menerpa wajahku, aku menatap lurus ke luar jendela. Memikirkan ucapan Vicky barusan, sembari menunggu yang lainnya pulang.
Dia benar, memang sudah seharusnya aku ceritakan hal ini. Tapi, ini belum ada seminggu sejak aku kembali. Mereka pasti akan lebih terkejut ketika mendengarnya.
Apalagi ... Kondisiku saat ini bisa dibilang mirip dengan Blaze dulu. Ya, waktuku hanya tersisa sedikit. Walau sebagian besar aku mengetahuinya karena firasat, alasan lainnya adalah karena tubuhku sudah mulai melemah. Dan itu semua, karena percobaan yang dilakukan wanita gila itu padaku.
Dan jika mereka mengetahui kondisiku saat ini. Apa yang akan mereka lakukan? Khususnya Solar dan Hali? Solar pasti akan merasa bersalah dan justru akan melakukan hal yang sama, seperti waktu menolong Blaze yang diracuni.
Hali ... Entahlah. Mungkin marah, habisnya aku tidak bisa membayangkan anak itu menangis.
"Taufan, ada apa?"
Aku yang sejak tadi menatap langit mendung, lekas menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Solar yang sedang menatapku khawatir.
"Oh, Solar. Ada apa?"
"Kenapa malah nanya balik? Jawab dulu pertanyaanku, Apalagi wajahmu terlihat agak pucat," ujar Solar cerewet.
"Benarkah? Aku rasa tadi biasa saja."
Solar menghela nafas panjang, lalu perlahan berjalan mendekatiku. Ia meletakkan salah satu tangannya di atas kepalaku, tak lama kemudian hawa hangat mulai menyelimuti tubuhku.
"Sudah kuduga."
Ia melepas tangannya dan menatapku dengan tatapan sendu. Sepertinya dia baru saja menggunakan kekuatannya padaku, tapi entah mengapa tidak berefek apapun.
"Kekuatanku sepertinya sudah tidak bisa menyembuhkan kondisimu sekarang," ujarnya lagi.
"Ah ... Begitu ya."
Aku hanya bisa tersenyum tipis, entah mengapa rasa senang dan sedih tiba-tiba datang bersamaan. Senang karena aku tidak perlu terlalu lama tinggal di dunia ini lagi, dan sedih karena harus berpisah dengan mereka suatu hari nanti.
"Maaf Taufan. Aku ... Sudah tidak bisa menggunakan kekuatan penyembuhan."
Tanpa harus dilepas kacamatanya, aku tau kalau ia sedang berusaha menahan tangisan. Tubuhnya mulai berguncang, dan isakan kecil mulai terdengar.
"Tolong rahasiakan ini dari yang lain, ya."
Bukannya menghibur, aku justru membuat sebuah permintaan. Melihat ekspresi Solar tadi, aku jadi semakin yakin. Menyembunyikan kebenaran tentang diriku sekarang adalah pilihan yang tepat.
Solar hanya membalas permintaanku dengan anggukan kecil.
"Dan pastikan, setelah itu jangan lupa kembali ke rumahmu. Dunia di mana seharusnya kau berada."
Lagi-lagi ia hanya mengangguk. Namun, itu dikarenakan ia yang sudah tak kuasa menahan tangisan. Air mata mulai bergelimang membasahi pipi pemilik manik silver itu. Tangisan kecil mulai terdengar jelas, dan tangannya berusaha menghapus air mata yang terus berjatuhan.
"Sungguh ... Maafkan aku, Taufan."
•••
Hari demi hari telah kulalui, waktu terus berjalan tanpa kenal lelah. Vicky sementara tinggal di rumah kami untuk mengawasi keadaan. Mengingat hanya dia satu-satunya yang paling mengenal musuh, akan lebih baik seperti ini.
Ufuk fajar telah tiba, aku membangunkan anak bermanik silver itu segera mungkin. Sekarang sudah pukul enam pagi, dan sebentar lagi kami harus bergegas berangkat sekolah. Dan tentu saja, Vicky akan tetap di sini menjaga rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANG PAWANA [END S.2]
Fanfiction[Lanjutan dari cerita "SANG MENTARI"] Anak dengan manik sapphire itu menatap langit malam dihiasi bintang yang berkelap-kelip, sembari mengingat kejadian yang belum lama terjadi. Sebuah kejadian yang tak terduga itu cukup membuat banyak keributan. A...