Bab. 18 : Halilintar

440 68 7
                                    

"... Aku benci melihatmu yang selalu berusaha mengejar sosok ibu."

Manik merah itu menatapku datar dan terlihat ada penyesalan di dalamnya. Mulutnya kembali terbuka, mulai melontarkan kata-kata.

"Sadarlah Fan, ibu sudah tiada. Tidak ada gunanya kau menirunya."

"Lalu, apa masalahnya? Itukan pilihanku sendiri."

"Ya, itu memang terserah padamu. Tapi asal kau tau, berusaha sekeras apapun dirimu. Kau tidak akan pernah bisa seperti ibu."

Brak!

Aku menggebrak meja kesal, lalu menarik kerah bajunya dan bersiap memukul wajahnya.

"DIAMLAH!"

"Taufan ... Aku tau kau menyayanginya, tapi kalau kau seperti itu terus. Kau sama saja tidak merelakan kepergiannya, dan itulah yang kubenci darimu."

Aku menatap manik merah itu dengan sendu, lalu melepaskan genggaman tadi secara perlahan.

Biasanya aku tidak mudah tersulut amarah, hanya saja ... Entah mengapa pernyataan tadi membuatku kesal.

Ya, aku akui. Kalau aku tidak akan pernah bisa jadi seperti ibu. Sosok yang anggun dan murah hati, senantiasa ada untuk kami saat duka maupun suka.

"Lalu, sekarang apalagi? Kenapa kau selalu saja mengajak ribut? Aku hanya berusaha melakukan yang terbaik!"

Emosi mulai diluapkan, keheningan kembali melanda ruangan ini. Namun, tak lama kemudian sebuah suara terlontarkan dari mulutnya. Dan kalimat itu ....

"Karena itulah aku kesal dengan diriku sendiri dan tanpa sadar melampiaskan semuanya padamu. Apalagi aku ini kembaran tertua, tapi tidak mampu apapun. Dan itu ... Rasanya menyebalkan."

Ia berhenti sejenak, lalu kembali berkata "Makanya kemarin aku minta maaf. Maafkan aku yang ... sudah jadi Abang yang buruk bagi kalian semua."

Dan ternyata, kalimat itulah yang selama ini kami semua tunggu termasuk aku. Sebuah kalimat yang dapat menyelesaikan semua masalah, dan kuncinya ada pada Halilintar sang kembaran tertua.

Gempa yang sejak tadi menatapnya dingin mulai menatapnya iba, tanda hatinya sudah memaafkan sang sulung. Sedangkan yang lain hanya terkekeh pelan mendengarnya.

"Hehehe ... Semua orang pernah melakukan kesalahan, jadi tenanglah," ujar Blaze sambil merangkul pundak Halilintar.

"Hmp, kau tidak pantas bilang begitu," sahut Ais seraya memutar bola matanya sebal.

"Yah, sudahlah. Yang penting jangan diulangi, kasian bang Taufan kena tinju mulu," ucap Gempa sambil tersenyum lebar ke arahku.

Mataku mulai berkaca-kaca, lalu tak lama kemudian air mata haru mulai mengalir. Tawa bahagia menyelimuti seluruh ruangan, bersyukur akhirnya dapat kembali seperti sediakala.

Sebuah keharmonisan yang kuinginkan justru bukan datang dariku, melainkan dari para saudaraku. Setelah kepergian ibu, ayah menyusulnya. Ia meninggal karena kecelakaan saat mengantar ibu ke rumah sakit.

Aku tidak tau bagaimana kejadian aslinya. Tapi yang jelas, setelah hari itu semuanya mulai berubah. Dan itu sudah terjadi, bahkan sebelum kedatangan Solar dari dunia lain.

Hembusan angin kecil menerpa wajahku, meniup poni kecilku sehingga manik biru itu terlihat berkilau. Cahaya sang bulan memasuki ruangan, tanda malam sudah tiba.

Ya, masalah tentang keluargaku memang sudah usai. Tapi tidak dengan wanita gila itu.

Drap drap

Suara derap langkah kaki terdengar, suaranya yang berat membuatku tau bahwa orang asing telah menyusup.

Terlihat seorang wanita bersama komplotannya sedang berdiri menghadang jalan ke luar. Lalu ia menatapku dengan tatapan tajam nan licik, bahagia akhirnya bisa menemukanku.

SANG PAWANA [END S.2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang