"Foto apaan ini? Gelap."
Setelah Solar berhasil memotretku, ia segera mengirimkannya ke dalam grup pribadi kami bertujuh, tepat pada pukul 3 malam. Siapa sangka, ternyata Gempa sudah terbangun dan sekarang ia sedang menasehati kami berdua.
"Selain itu, apa yang kalian lakukan malam hari begini?" tanyanya dengan ekspresi datar, tanda dirinya sedang marah.
"Tidak ada, hanya pembicaraan kecil saja," balasku santai.
"Yang lebih penting Gem--Abang Gempa, bagaimana pendapatmu tentang foto itu?" tanya Solar antusias.
Mendengar pertanyaan itu, Gempa hanya memasang ekspresi agak bingung.
"Gimana mau kasih pendapat, kalau fotonya aja gak jelas gini? Hanya ada mata bermanik biru dengan pantulan cahaya bulan. Jika dipikir-pikir lagi ... Bukankah mata ini cukup indah?"
Tak terima dengan pernyataan itu, Solar segera bangkit dari duduknya. Segera mendekat ke arahnya, lalu meraih pundak Gempa.
Solar melepas kacamata itu dengan perlahan, lalu memandang Gempa dengan tajam. Seolah dirinya berusaha menyampaikan sesuatu yang sangat penting. Senyuman terukir diwajahnya, dan mulutnya mulai melontarkan kata-kata.
"Bang ... Mataku lebih indah, bahkan warnanya lebih indah dari emas."
"Kau mau menghinaku, Solar?"
Karena penyataan itu berunjung menjadi kesalahan. Nyawa Solar hampir melayang karena ulahnya sendiri. Bahkan Gempa sedang menatapnya dingin, karena ucapannya tadi.
Aku? Seperti biasa, hanya menonton dari jauh sambil berusaha menahan tawa.
"Arrrgh ... bukan begitu! Masa gak tau sih, ini aibnya Taufan!"
"Solar ...."
Gempa melepaskan pegangan tangan itu, lalu meletakkan tangannya di atas pundak Solar.
"Gak boleh begitu. Menyebarkan aib orang itu perbuatan berdosa, jangan diulangi lagi!" ucap Gempa dengan wajah datar yang menusuk.
"Ah, ya. Maaf."
Tak kusangka, bahkan Solar dari dunia lain tak berdaya dengan Gempa yang sedang marah. Bahkan, sekarang Solar terlihat sangat menyesali perbuatannya.
Yah, setidaknya aku harus bersyukur. Karena pembalasan dendamnya telah gagal total.
Disaat yang tidak tepat, kepalaku mulai terasa pusing. Detak jantung mulai berdetak kencang dan pandanganku mulai kabur.
Untungnya Solar menyadari hal itu dan segera membujuk Gempa agar keluar dari kamar kami.
"Baiklah, sekarang cepat tidur. Jangan bergadang lagi!" ucapnya sebelum pergi.
"Oke bang!"
Tak lama kemudian Gempa akhirnya keluar dan aku yang sudah berada diambang batas. Langsung terkapar di lantai yang dingin nan sejuk itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANG PAWANA [END S.2]
Fanfiction[Lanjutan dari cerita "SANG MENTARI"] Anak dengan manik sapphire itu menatap langit malam dihiasi bintang yang berkelap-kelip, sembari mengingat kejadian yang belum lama terjadi. Sebuah kejadian yang tak terduga itu cukup membuat banyak keributan. A...