Bab. 2 : Perpecahan

625 82 8
                                    

Malam telah tiba, pintu kamar masih terkunci dan membiarkan diriku tetap terkurung di dalamnya, hanya berdua dengan Solar yang masih terlelap.

"Lala... la... la..."

Senandung lagu kunyanyikan untuk menghibur diriku yang kebosanan. Ingin sekali rasanya memberantakan barang seperti tadi, lalu membuat gedung dari tumpukan buku. Namun aku sudah terlalu lelah untuk berdebat dengan Halilintar lagi.

Hidupku akhir-akhir ini terasa hambar dan membosankan. Dua anak yang biasa menjadi target kenakalanku sedang berada dalam kondisi yang tak memungkinkan.

Tak hanya itu, Duri dan Blaze juga masih belum kunjung kembali seperti semula, bahkan Gempa lebih sering murung dan Ais... aku kurang tau dengannya, dia lebih sering memilih untuk tidur. Yah, intinya kami semua tidak seperti sebelumnya yang sering tertawa dan tersenyum.

Bahkan tok Aba dan abang tertua sampai bingung harus bantu kami seperti apa, agar dapat kembali seperti dulu.

"Hah... sudahlah. Terlalu banyak berfikir tidak baik," ujar diriku pada diri sendiri sembari bangkit dari duduk dan segera berjalan menuju kasur.

Baru saja aku hendak untuk tidur, sebuah ketukan pintu terdengar. Ketukan dengan nada lembut tanpa adanya pemaksaan, membuatku memilih untuk membuka pintu itu lebih dulu.

Dan benar saja, orang itu adalah Gempa. Ya, iyalah. Kalau itu, Hali gak akan kubuka pintu ini atau kami akan berakhir dengan adu tinju.

"Ada apa Gem?"

Anak dengan pakaian serba coklat keemasan menatapku dengan tatapan khawatir. Sepertinya dia sudah mengetahui, apa yang terjadi tadi sore.

Aku terkekeh pelan dan berkata, "sudah tidak apa Gem. Hali kan emang suka gitu."

"Tapi bang... setiap bang Hali marah, pasti ucapannya nyakitin."

Yah, kuakui kebenaran itu. Halilintar mulutnya kurang bisa dijaga untuk beberapa kondisi, belum lagi orangnya suka malu-malu kucing.

"Tapi itu udah lewat juga, masa lalu yang udah basi gak usah dibahas lagi, oke? Sekarang tidurlah. Besok kan kau harus bangun pagi."

Aku menepuk-nepuk pundak yang tingginya sepantaran denganku. Anak dengan manik emas itu, tersenyum lega ke arahku, lalu segera berjalan kembali menuju kamarnya.

"Oke, abang juga jangan lupa tidur yang cukup dan pastikan bangun pagi."

Gempa melambaikan tangannya ke arahku dan segera memasuki kamar miliknya. Perlahan aku merasa lega dapat melihat senyuman tulus itu lagi, sudah lama rasanya tidak melihat dirinya dapat tersenyum lega.

Merasa kondisiku jauh lebih baik, aku segera kembali masuk ke dalam kamar dengan riang, lalu segera merebahkan diri di atas kasur. Kurasa malam ini aku dapat bermimpi indah berkatnya, memanglah Gempa sang malaikat kecil kami. Dan entah kenapa, aku merasa Gempa lebih cocok jadi abang, ketimbang Halilintar yang mudah emosi.

"Harusnya Gempa jadi anak sulung aja kalau gitu," gumamku sebelum tertidur pulas.

•••


Waktu terus berjalan, udara yang menyengat mulai membuatku dibanjiri keringat. Untungnya hari ini adalah hari Sabtu, jadi aku bisa menetap di dalam rumah dan berdiam diri di depan kipas angin.

Di saat tengah asyik menyejukkan diri, seseorang berdiri di depanku. Anak bermanik biru laut dengan sweater ditubuhnya, mampu membuat angin berhenti berhembus ke arahku.

"Ais kalau gerah, lepas dulu sweaternya."

Anak itu tidak menjawab dan tetap diam di depan kipas angin, tanpa bergerak Sedikit pun. Terlihat dirinya yang begitu tenang dan senang, menikmati angin semilir menerpa dirinya. Daripada aku terus mengganggunya, aku memilih untuk memanjat tubuhnya, lalu duduk di atas pundaknya.

SANG PAWANA [END S.2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang