Bab. 6 : Melarikan Diri

476 79 1
                                    

"Dimana kau, abang?"

Gempa menatap luar jendela sambil mengusapnya dengan pelan, khawatir dengan sang adik yang tak kunjung pulang. Sudah tiga hari berlalu, tapi saudaranya ini masih belum ada kabar.

"Dasar Taufan! Kemana anak itu?!" umpat Halilintar kesal sambil menatap layar handphonenya.

Terlihat ada banyak panggilan tertolak, membuat darahnya semakin mendidih. Khawatir dan amarah menjadi satu, hatinya mulai tak tenang. Saudaranya yang lain juga terlihat lesu, karena Taufan menghilang tiba-tiba.

"Apa Taufan pergi karena Duri?"

Mendengar kalimat itu, para saudara kembar langsung menoleh ke arahnya. Sedangkan yang ditatap masih sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Harusnya, Duri kemarin gak teriakin bang Taufan kayak gitu," ujarnya lagi.

Ais menepuk kepala anak itu dengan lembut. "Ini bukan salahmu, aku juga yang salah karena ingkar janji dengannya."

"Ingkar janji?"

Bukannya menjawab pertanyaan itu, Ais hanya membalasnya dengan senyuman sendu. Abang tertua yang sejak tadi terdiam, mulai membuka suaranya.

"Maafkan abang, andaikan aku menjaganya dengan baik. Dia pasti tidak akan hilang."

Sepasang mata yang sejak tadi melihat Duri dan Ais, kini beralih menatap sosok tertua yang berdiri dekat tangga. Wajah penuh penyesalan dapat dilihat sangat jelas oleh adik-adiknya.

Masalah yang terus bermunculan membuat Halilintar sebagai kembaran tertua, mulai merasa kesal. Padahal Solar masih belum bangun, lalu sekarang anak itu justru menghilang dan menimbulkan masalah baru.

Sosok anak berbaju serba biru, mendengar percakapan mereka dari luar jendela. Entah sudah berapa lama, ia sudah berdiri di depan sana. Terlihat senyuman tipis terukir di wajahnya, merasa bahagia karena dapat melakukan sesuatu.

"Akhirnya, tiba juga waktuku."

Tak lama kemudian, sosok asing itu pergi entah kemana. Gempa yang menyadari hal itu, hanya bisa menatap anak itu dari jauh. Meski wajahnya tidak terlihat, ia tau siapa orang asing tadi. Lagipula dirinya sudah berkali-kali bertemu dengannya, sehingga tak mungkin baginya untuk melupakan sosok tersebut.

"Loh, dia kan..."

•••

















.

.

.

.

.

.

"Hehe... ketemu!"

Deg!

Detak jantungku langsung berdebar kencang, terkejut dengan keberadaannya. Refleks aku segera berusaha bangun dan kembali mundur. Namun, karena beban kami yang terlalu berat. Ventilasi ini kehilangan kekuatannya dan berakhir rusak.

Aku dan wanita itu terjatuh di atas lantai. Karena gagal mendarat, seluruh tubuhku kembali menjerit. Vio si wanita gila, memegang suntikan di salah satu tangannya dengan seringai licik. Setelah itu ia segera berlari ke arahku dan mengarahkan benda tajam itu.

Tidak ingin kejadian yang sama terulang lagi. Aku segera menghindar dan segera berlari menjauh darinya. Percuma jika aku menghindari serangannya, kalau akhirnya aku justru tertangkap olehnya.

Drrrtttt.....

Suara dering terdengar dari ponsel yang berada di genggaman tanganku. Panggilan itu, jadi mengingatkanku dengan kejadian beberapa hari yang lalu.

'Kayaknya bang Hali bakal marah.'

Aku menatap layar tersebut dengan tatapan sendu. Terlihat sebuah deretan nomor tertera di atasnya. Ingin mengangkatnya, tapi takut dengan ocehannya. Dan jika kuangkat, saudaraku pasti akan segera berlari menuju kemari. Jika itu terjadi, pastinya wanita gila ini akan mengincar mereka juga.

Memikirkan semua itu, membuatku semakin enggan mengangkat panggilan ini. Mengingat sifat Halilintar yang sedang sensitif, membuatku jadi terpaksa harus mengangkat panggilan itu. Aku mendekatkan ponselku ke telingaku, agar dapat mendengar suaranya lebih jelas.

"Oh, tidak kusangka kau akan mengangkatnya."

Suara asing mulai menyapaku, merasa ada yang tidak beres. Aku segera mengecek kembali nomor yang ada, rupanya nomor belakangnya berbeda. Tapi aku sangat yakin, tadi itu nomor milik bang Hali.

Yah, salahku juga yang tidak menyimpan nomornya.

"Siapa kau?"

"Nanti juga tau. Sekarang kau ada dimana?"

Bukannya menjawab, suara itu justru bertanya balik padaku.

"Eh? Aku lagi main kejar-kejaran di lorong. Kenapa? Ah, tidak. Jawab dulu pertanyaanku! Dan juga, bagaimana caramu tau nomorku?"

"Bentar, kau ada di dalam gedung kan?"

"Ya? Trus?"

"Oke, tunggu aku! Jangan kemana-mana dulu."

Tuuuuttt....

Percakapan singkat itu, membuatku jadi semakin penasaran. Sebenarnya siapa orang ini? Dia bahkan belum menjawab semua pertanyaanku dan seenaknya mengakhiri panggilan. Sebenarnya apa maunya deh?

Sriiinggg....

Sebuah pisau terbang melesat melewatiku, lalu menancap di dinding, tepat di depan hadapanku. Bulu kudukku langsung berdiri, merinding dengan kejadian tadi. Wanita ini memang sudah kelewatan, sampai dia rela menangkapku dengan cara seperti ini.

Langkah kakinya mulai mendekat, aku kembali berlari menjauh darinya. Sayangnya tubuhku sudah tak punya banyak tenaga dan akhirnya terjatuh lemas di atas lantai.

"Hahaha... kau pikir bisa kabur dariku? Jangan harap!"

Tenagaku sudah terkuras habis, aku sudah tak sanggup untuk bangun, apalagi harus berlari. Wanita itu perlahan semakin dekat, jaraknya sudah tak jauh lagi dariku. Tangannya sudah bersiap untuk menangkap dan membawaku kembali ke ruangan tadi.

Wuuuussss......

Di detik-detik terakhir. Sebuah bom asap mendadak muncul dihadapanku, lalu meledak tepat di depan wajah wanita itu. Asap yang tebal langsung memenuhi lorong, bahkan pandanganku sampai terhalau olehnya.

"Ayo!"

Sebuah tangan tiba-tiba muncul dan segera menarikku menjauh dari wanita itu. Terdengar sebuah jeritan heboh dari belakang, sebuah teriakan penuh amarah yang berasal dari wanita gila tadi.

Semakin menjauh darinya, asap perlahan menipis. Wajah yang sejak tadi tertutup asap, perlahan terlihat semakin jelas. Aku membelalakkan mata tidak percaya. Sosok misterius tadi nyatanya bukanlah orang asing, melainkan seseorang yang sudah kukenal sejak dulu.

Ia salah satu sosok yang paling kubenci, seorang pembully yang tak ada habisnya menganggu kembaranku. Namun, kini sosok itu justru berubah menjadi seorang penyelamat. Membantuku keluar dari situasi terburuk ini, tanpa harus diminta.

"Vicky?!"

Anak itu refleks menoleh ke arahku, ketika mendengar namanya dipanggil. Ia hanya tersenyum tipis, lalu kembali fokus ke depan.

"Nanti kujelaskan, ayo lari dulu!"

Mau tak mau, aku harus mendengarkan ucapannya. Lagipula saat ini, bukanlah waktu yang tepat untuk berdebat. Dan juga, tak sopan rasanya. Sudah dibantu, bukannya berterima kasih dan marah padanya. Jadi kupikir tak ada salahnya mengikuti ucapannya.

•••























.

.

.

Yo, ges! Sorry kali ini pendek ya. Semoga kalian menikmatinya <⁠(⁠ ̄⁠︶⁠ ̄⁠)⁠>

SANG PAWANA [END S.2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang