Sesampainya di rumah, badanku terasa seperti panas dan sakit sekali.
Pak lek yang melihat itu, segera memberikan air putih yang sudah di simpan di dalam tasnya. Simbok pun hanya bisa menangis terus.
Tak terasa adzan subuh berkumandang, aku yang tidak tidur mulai merasa ngantuk. Aku izin pamit tidur terlebih dahulu pada pak lek dan simbok. Tak lupa aku melaksanakan sholat subuh terlebih dahulu. Ah sudahlah biar hari ini aku izin tidak masuk kerja lagi. Aku mengirimkan pesan wa kepada Dian bahwa aku tidak masuk lagi.Siang hari sekitar pukul 11.00 aku terbangun, badanku terasa gerah sekali dan perutku pun terasa lapar. Untung simbok sudah menyiapkan makanan jadi aku bisa langsung melahapnya seperti orang yang berhari-hari tidak makan.
"Alon-alon wae nduk maeme"
(pelan-pelan saja nduk makannya)"Iya mbok" ku jawab dengan mulut penuh nasi dan lauk.
"Pak lekmu wis crito kabeh, iki ono titipan seko pak lek. Jare kon di nggo sampai anakmu lahir."
(Pak lekmu sudah cerita semua, ini ada titipan dari pak lek. Katanya di suruh pakai sampai anakmu lahir)Aku lihat kalung yang sama persis seperti kalung yang dulu di berikan pak lek. Tanpa bertanya lebih jauh aku segera memakainya. Selesai makan aku izin pergi tidur lagi, entah kenapa pada saat itu aku ingin sekali tidur terus. Bahkan aku sampai tidak teringat atau terpikiran Iwan suamiku dan mertuaku.
Tak berselang lama, aku di bangunkan oleh suara yang tidak asing. Ternyata itu Dian.
"Mar kamu kenapa?"
Seperti orang yang baru bangun tidur aku masih memproses pertanyaan Dian.
"Loh kok kamu tahu aku di rumah?" tanyaku
"Aku tadi sempat kerumah suamimu, tapi di sana sepi sekali seperti tidak ada orang di rumah. Makanya aku inisiatif langsung kesini." jelas Dian
Akupun langsung menceritakan semua yang terjadi dari awal sampai sekarang. Dian pun hanya bisa beristighfar.
"Terus keadaan suamimu dan mertuamu gimana sekarang? Dari awal kamu menikah dengan dia aku sudah merasa aneh, kamu saat itu bisa begitu tergila-gila oleh Iwan padahal baru berkenalan bahkan sampai memutuskan langsung menikah." cerita Dian panjang lebar.
"Aku tidak tahu bagaimana keadaan mereka yan. Semoga saja mereka segera bertaubat. Aku sudah bersyukur bisa keluar dari rumah itu."
"Terus kelanjutan rumah tanggamu gimana mar?" tanya Dian
"Aku belum tahu, yang jelas aku sudah tidak mau kembali lagi kesana. Mungkin setelah anak ini lahir aku akan meminta pisah."
"Iya mungkin itu lebih baik." jawab Dian
Hari demi hari berganti, bulan demi bulan juga berganti, perutku sudah semakin besar dan mendekati hari lahir calon anaku ini. Aku sudah bisa memulai aktifitasku seperti biasa, bekerja dan bisa ikut senam hamil juga. Keadaan badanku sekarang sudah mulai membaik, aku yang kadang masih sering demam dan ada rasa yang teramat sangat merindukan Iwan perlahan bisa ku tepis saat berusaha memikirkan perbuatannya padaku dulu. Sakitnya badan dan batin ini oleh perbuatannya.Tak lupa sholat dan doa selalu ku lakukan. Pak lek juga sering membatu ku, setiap sore beliau datang membawa air "doa" untuk aku minum. Aku pun sudah memblokir nomor Iwan. Meski ada beberapa kali nomor baru yang mengirim pesan dengan pesan seperti ancaman, bahkan menelepon berulang kali. Aku tak menghiraukannya, aku yakin Alloh yang akan melindungiku.
Malam itu, udara terasa dingin padahal masih musim kemarau yang biasanya suhu disini akan terasa panas sekali. Baru saja aku merebahkan badanku di atas kasur, tiba-tiba keluar air bening dari sela-sela selangkangan ku. Aku yang sudah sedikit-sedikit belajar tentang tanda-tanda melahirkan tidak begitu panik. Aku beranjak dan memberitahu simbok bila air ketubanku sudah pecah. Tak berselang lama, perutku terasa sakit sekali, jarak sakitnya pun sudah semakin intens di sertai keluarnya lendir dengan sedikit darah. Aku bergegas menelepon kakak pertama ku untuk meminta di antar ke bidan terdekat.
Aku di bonceng kakak, dan simbok ternyata juga sudah memanggil pak lek. Simbok berboncengan dengan pak lek di belakang sambil membawa tas perlengkapan lahiran yang sudah ku siapkan jauh-jauh hari. Waktu itu aku ingat sekali tepat pukul 4.00 dini hari dengan satu tarikan nafas dan mengejan sekuat tenaga terdengarlah suara tangisan yang begitu nyaring memecah keheningan.
"Alhamdulillah" aku ucapkan syukur yang teramat sangat. Rasa lega dan bahagia bercampur jadi satu. Akhirnya telah lahir putri kecil mungil yang sehat dan cantik dan ku beri nama Aisyah.
Simbok pun menangis di sebelahku.
Setelah putri kecilku di bersihkan, pak lek dengan sigap langsung memberikan adzan di telinganya.
Tak lama berselang adzan subuh berkumandang, teman dari si jabang bayi sewaktu di dalam perut pun sudah keluar. Aku yang sedang dalam masa pemulihan hanya bisa meminta tolong kakak untuk menguburkanya. Setelahnya Aisyah di letakkan di dadaku, aku merasakan kehangatan dari seorang bayi dengan tubuh kecilnya. Ku pandangi wajahnya, tak terelakan rasa bersalah yang teramat sangat karena dia lahir tanpa ada ayahnya yang mendampinginya. Tapi sebagai ibu aku pastikan dia tidak akan kekurangan kasih sayang.Tak butuh waktu lama, aku sudah diizinkan ibu bidan untuk kembali ke rumah. Aku sudah pulih dan bisa berjalan. Sesampainya di rumah, seperti orang desa pada umumnya simbok langsung sigap mengurus keperluan untuk acara "brokohan" kelahiran Aisyah. Brokohan semacam berbagi makanan kepada tetangga sekitar sebagai ucapan rasa syukur kita kepada Sang Pencipta.
Tapi entah kenapa sesampai di rumah, Aisya menjadi begitu rewel, menangis terus tanpa henti. Aku yang bingung hanya bisa berusaha menggendong dan memberikan asi. Tapi ternyata itu belum berhasil. Sepertinya Aisyah menangis bukan karena dia lapar atau tidak nyaman, aku mencoba besholawat dan berdoa, tak lama Aisyah pun tertidur pulas.
Malam hari rumah begitu ramai, banyak sanak saudara dan tetangga yang datang menjenguk. Tak sedikit pula dari mereka mengasihani aku karena tidak ada suami saat melahirkan. Aku yang sudah berusaha melupakan Iwan jadi teringat kembali."Pak lek, tolong kabari Iwan dan sekalian mintakan dia untuk menceraikanku."
"Iya nduk, nanti biar pak lek yang urus. Kamu fokus saja pada bayimu." kata pak lek.
Saat mahirkan tentu saja aku sudah mengambil cuti, lumayan dapat cuti 3 bulan, 1 bulan kemarin sudah aku gunakan sebelum melahirkan, masih sisa 2 bulan jadi aku tidak perlu pusing memikirkan pekerjaan dulu. Dian mengabariku jika nanti sore dia mau datang melihat Aisya. Tentu aku sangat senang, tapi ternyata Dian tidak datang sendiri, dia datang bersama Febri.
![](https://img.wattpad.com/cover/300058967-288-k96184.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelet Sang Suami (END)
Kinh dịSepasang muda mudi tengah asik menikmati terbenamnya matahari di tepi pantai. Sang lelaki ingin mengungkapkan perasaannya kala itu, tetapi sang wanita malah memberikan sebuah kertas dengan ukiran tinta emas terbungkus plastik. Itu undangan pernikah...