7. Mertua

261 8 0
                                        

Selamat datang di pondok indah mertua. Itu yang selalu sering aku dengar dari teman-teman ku yang sudah menikah. Seperti ucapan selamat datang biasa dengan harapan banyak kebahagiaan dan kesenangan di dalamnya, seperti namanya pondok indah, tapi...
Apakah akan seperti itu??

Malam hari pukul 21.00, aku baru sampai di rumah mertuaku. Saat masuk aku menyapa dulu bapak dan ibu mertua yang sedang menonton televisi sambil memberikan makanan dari simbok.

"Pak, bu, ini ada titipan makanan dari simbok buat bapak sama ibu."

"Oh iya Mar, taruh di atas meja makan saja, makasih yah pake repot-repot segala" jawab Ibu sambil mengganti chanel televisi. Ibu mertua seperti penggemar sinetron.

"Gak repot kok bu, malah simbok seneng bikinnya kok. Oh ya Aku masuk kamar dulu ya bu, mau beres-beres dulu." Sambil menuju kamar, kulihat ibu dan bapak tidak merespon.

Di rumah ini aku masih merasa asing. Rumah dengan bangunan modern, dengan 3 kamar yang lumayan luas. Kamar ku dekat dengan meja makan yang menyatu dengan dapur, sedangkan mertuaku ada di kamar depan dekat dengan ruang tamu. Di belakang dapur ada ruangan yang selalu tertutup rapat dan terkunci suamiku pun sudah mewanti-wanti untuk tidak masuk ke ruangan itu. Saat pertama kali masuk ke rumah ini hawa panas begitu terasa.
Setelah selesai beres-beres di kamar, aku keluar untuk mengambil air minum. Terasa kering sekali tenggorokan ku. Ku lihat ruangan tengah sudah gelap, sepertinya bapak dan ibu sudah tidur. Saat mengambil gelas, tak sengaja aku memperhatikan ruangan tertutup itu, dan betapa kagetnya di depan pintu itu berdiri bayangan yang menyerupai pocong. Gelas yang tadi ku pegang tanpa sengaja ku jatuhkan hingga pecah. Tak peduli dan tak berpikir panjang aku langsung berlari menuju kamar. Walaupun bukan kali pertama melihat hal seperti itu, aku tetap merasa takut. Nafasku sampai tak beraturan dan jantung pun berdegup kencang.

"kamu kenapa Mar?" tanya suamiku yang sepertinya terbangun mendengar gelas pecah tadi.

"a...ku..aku gak apa-apa kok". Jawabku terbata-bata.

Kalau ku ceritakan mungkin suamiku tak akan percaya dengan apa yang kulihat.

"ya sudah ayo tidur, besok kamu sudah kerja kan?" perintah suamiku

Aku pun hanya mengangguk dan berbaring di sebelahnya. Keringat masih membasahi dahi ku. Aku teringat bayangan sosok pocong itu, apa mungkin itu penunggu rumah ini? Aku masih percaya setiap bangunan pasti ada penunggunya. Karena sejatinya kita hidup berdampingan dengan "mereka".

Pagi-pagi buta, aku dengar teriakan ibu memangil nama ku.

"Mar..Mar..bangun kamu!" dengan teriakan seperti kesetanan.

Aku yang masih mengantuk karena semalam tidak bisa tidur, segera beranjak dan menemui ibu mertua. Aku sudah menduga pasti ini masalah gelas pecah yang semalam tidak sengaja ku jatuhkan.

"I..iya bu.. Ada apa yah?"

"Ini apa? Kenapa gelas bisa pecah begini? Berani-beraninya yah kamu, baru semalam tidur disini sudah memecahkan perabotan rumah ini!" teriak ibu mertua.

"Iya maaf bu, tadi malam saya gak sengaja menjatuhkan gelas, karena ta...karena kaget melihat tikus besar".jawab ku sekenanya.

"Ibu gak mau tau yah, ini di beresin dan di ganti gelas yang kamu pecahkan! Dan satu hal lagi karena kamu tidur disini kamu harus bersih-bersih dan masak untuk satu rumah." perintah ibu mertua

Aku hanya bisa mengangguk, bukan hal besar jika aku hanya harus beberes dan masak, aku sudah terbiasa dengan itu. Tapi kenapa hanya satu gelas pecah saja aku sudah di suruh menggantinya. Pelit sekali mertuaku ini.
Setelah ku bereskan pecahan gelasnya, aku hendak memasak. Tapi aku ingat jika simbok membawakan banyak makanan kemarin, gak mungkin juga kan kalau sudah habis. Ku buka kulkas untuk melihat apa yang bisa di hangatkan untuk sarapan, tetapi di kulkas tidak ada makanan pemberian simbok, di meja makan pun tidak ada. Oh mungkin sudah di makan ibu dan bapak, tapi masa semua? Kan simbok bawa banyak makanan. Di bagikan tetangga kah? Tapi ini masih pagi-pagi buta, semalam pun aku tak melihat ibu atau bapak keluar rumah. Akhirnya aku memberanikan diri bertanya pada ibu mertua yang sedang asyik bermain handphone di ruang tengah.

"Maaf bu, hari ini mau masak apa?" tanyaku halus

"Masak telor ceplok aja buat sarapan, tapi buat kamu pake telor yang di dalam plastik ya" seru ibu mertua

" Iya bu" jawabku berlalu

Saat membuka kulkas, aku lihat telor yang di maksud ibu mertua untuku. Astagfirulloh.. Ya Alloh. Satu kantong plastik yang mungkin ada satu kilo, isinya retak semua bahkan ada yang sudah berbau. Padahal mertuaku bisa di bilang orang berada, tapi masa membeli telor retak dan busuk seperti ini. Aku hanya bisa mengelus dada mendapatkan perlakuan seperti itu.
Setelah selesai masak, aku bergegas mandi dan hendak sholat subuh. Ku bangunkan suamiku yang masih tertidur pulas.

"Mas.. Mas bangun, ayo sholat subuh dulu" pinta ku

"Apaan sih kamu, pagi-pagi sudah berisik. Kalo mau sholat, sholat aja sendiri jangan bangunin aku, aku tuh masih ngantuk tau." bentak suamiku yang kemudian melanjutkan tidur.

Pukul 06.00 pagi, aku sudah bersiap hendak berangkat kerja, tak lupa aku berpamitan dulu dengan ibu mertua, kalau bapak mertua sudah tak kelihatan mungkin sudah berangkat ke toko. Saat hendak berpamitan dengan suamiku, aku jadi sungkan untuk membangunkannya. Ah sudah lah nanti saja aku telepon atau wa saja, dari pada dia marah-marah lagi. Toh dia belum bekerja yang mengharuskan bangun pagi. Sarapan pun sudah ku siapkan.

Ku stater motor, sambil menunggu memanaskan motor, aku membuka gerbang dulu sambil melihat-lihat rumah tetangga yang berdempetan khas perumahan, saat asyik melihat-lihat mataku langsung tertuju ke tempat sampah yang sudah menggunung di depan rumah. Tukang sampah disini ngambil sampah seminggu sekali mungkin, kok sampah sampai menggunung begitu, pikir ku. Tapi setelah ku lihat-lihat aku seperti kenal dengan tempat makan dan plastik-plastik itu, iseng ku dekati dan ku buka. Dan ternyata itu semua makanan dari simbok, makanan yang di masak simbok dengan segenap hati di buang semuanya. Sungguh tega sekali mertuaku, apa salah ku dan simbok sampai mereka tega membuang makanan pemberian orang tua ku. Kalau pun tidak suka kan bisa di kasih tetangga, kenapa harus di buang? Tanpa terasa air mataku menetes, sambil menangis aku langsung tancap gas tanpa memperdulikan gerbang yang belum di tutup.

Pelet Sang Suami (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang