Setelah kunjungan terakhir Iwan malam itu, aku merasa selalu ingin bertemu Iwan. Selalu terbayang wajah Iwan, hingga aku memberanikan diri mengajak iwan untuk main ke rumah lagi.
"Wan, besok main kerumah lagi ya?"
"Iya Ti, tapi besok aku gak dateng sendirian, aku mau dateng sama orang tuaku."
"Maksudnya gimana?" tanya ku memastikan.
"Besok aku mau melamar kamu, kamu mau kan?"
Sungguh senang hati ini, saat dia mengutarakan niatnya, tentu saja aku mengiyakan ajakannya itu. Aku pun langsung memberitahukan simbok kabar bahagia ini.
"Mbok, sesuk bengi Iwan meh rene mbe wong tuane, dekne meh nglamar aku mbok." (bu, besok malam Iwan mau kesini sama orang tuanya, dia mau melamar aku bu)
Tentu saja simbok kaget, aku bisa melihat dari ekspresi muka beliau saat itu.
"Sing bener ae nduk, bukane Febri sing lagi cedak mbe awakmu, koyoe kowe yo seneng mbe Febri, kok ujug-ujug maleh mbe Iwan?. Simbok jane kurang sreg mbe cah kuwi." (yang benar saja nduk, bukannya Febri yang sedang dekat sama kamu, kamu juga suka sama Febri, kok tiba-tiba malah pindah ke Iwan? Ibu sebenarnya kurang suka sama dia)
" Tapi saiki aku senenge mbe Iwan mbok, simbok ngrestui aku mbe Iwan to?" (tapi sekarang aku sukanya sama Iwan bu, Ibu mau merestuinya kan?) tanya ku menggebu-gebu.
"Yo ws yen pancen kuwi pilihane ati mu nduk, ibu cuma isa dongakno ben awakmu uripe bahagia lan sejahtera mbe Iwan." (ya sudah kalau itu sudah jadi pilihan hatimu, ibu cuma bisa berdoa semoga kamu hidup bahagia dan sejahtera sama Iwan.
"Matur nuwun nggih mbok." (makasih ya bu)
Aku mencium tangannya dan kemudian memeluk tubuh yang sudah renta itu. Betapa bahagianya aku malam itu. Tentu saja aku belum memberikan kabar itu pada siapapun termasuk Febri.
Pagi hari saat berada di kantor, sambil tersenyum-senyum aku memberi kabar bahagia ini pada temanku Dian.
"Yan, nko bengi aku meh di lamar." (Yan, nanti malam aku mau dilamar)
"Ciyee... Akhire ya Mar, Febri nglamar awakmu. Kandani to dekne mesti meh nyedaki awakmu neh, malah jebul langsung ngalamar." (ciyee.. Akhirnya ya Mar, Febri melamar mu. Dibilangin kan dia itu mau ndeketin kamu lagi, malah ternyata langsung melamar)
"Udu Febri Yan, tapi Iwan." (bukan febri yan, tapi Iwan) jelas ku pada Dian
Dengan wajah kaget dan bingungnya Dian bertanya
"Sopo kuwi Iwan, koyoe awakmu rak pernah crita?" (siapa itu Iwan, kayanya kamu gak pernah cerita?)"Oh iya aku lali crita mbe awakmu to yan, haha.. Iwan kuwi kenalanku nembe-nembe iki, wonge apik, ws pernah dolan gon omahku juga." (oh iya aku lupa cerita sama kamu ya yan, haha.. Iwan itu kenalanku baru-baru ini, orangnya baik,dia juga udah pernah main kerumah ku.)
Dian yang masih terbengong-bengong itu membuat ku tertawa. Lucu juga melihat mukanya itu saat kaget. Mungkin setelah lamaran aku akan mengenalkan Dian kepada Iwan.
Aku sepertinya sudah gak sabar menunggu malam nanti, selain acara lamaran itu yang di tunggu-tunggu, tentu saja aku juga ingin melihat wajah Iwan, kenapa aku kangen sekali padanya ya.Malam yang di tunggu-tunggu pun tiba, acara yang sederhana pun di lakukan dengan hikmat. Jamuanya pun ala kadarnya, hanya snack jajanan pasar dan Soto untuk makan malamnya. Simbok memilih menu yang simpel karena memang acara ini seperti mendadak. Yang di undang pun hanya saudara dekat dan tetua desa. Setelah selesai acara lamaran itu. Para kakak ku kembali meyakinkan ku, apakah aku sudah mantap dengan pilihan ku saat ini. Aku melihat ada keraguan di mata Simbok dan kakak-kakak ku. Mereka seperti melihat hal aneh pada diriku yang tidak seperti biasanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pelet Sang Suami (END)
HororSepasang muda mudi tengah asik menikmati terbenamnya matahari di tepi pantai. Sang lelaki ingin mengungkapkan perasaannya kala itu, tetapi sang wanita malah memberikan sebuah kertas dengan ukiran tinta emas terbungkus plastik. Itu undangan pernikah...