10. Kekerasan

182 7 0
                                    

Sore hari sepulang kerja, sesuai dengan niat ku tadi pagi. Aku segera meluncur ke rumah simbok. Aku juga sudah mengirim pesan wa kepada Suamiku, aku bilang bahwa aku lembur sampai malam, aman pikirku.

Sesampainya di rumah simbok, aku langsung memberi salam dan masuk. Kulihat simbok tidak ada di kamarnya. Dan benar saja ternyata beliau ada di dapur. Hemm..bau ikan asin langsung menusuk hidung, membuat perutku semakin keroncongan.

"Wes nyambel durung mbok?" (sudah nyambel belum bu?) tanyaku yang ternyata mengagetkan simbok.

"Loh kok awakmu neng kene nduk? Mbe bojomu?" (loh kok kamu disini nduk? Sama suamimu?) tanya simbok

"Dewean aku mbok, bojoku neng omah." (sendirian aku bu, suamiku di rumah) jawabku

Akhirnya aku bisa merasakan kembali nikmatnya masakan simbok, setelah beberapa hari ini hanya makan makanan sisa saja di rumah mertuaku.
Aku yakin simbok sekarang pasti bertanya-tanya kenapa aku ke sini sendirian tanpa di temani suamiku, pasti simbok juga mengira telah terjadi sesuatu dengan rumah tangga kami.

Andai aku bisa bercerita mbok, banyak sekali yang ku alami di rumah itu, padahal baru beberapa hari menikah. Ingin sekali aku menangis di pangkuan mu itu, melupakan semua perasaan yang tertahan ini. Tapi aku tak mau lagi membebani mu mbok, aku terlalu takut dan malu padamu mbok. Ini pilihan ku sendiri, aku tak ingin terlihat menyesal di depanmu mbok. Aku harus bisa menghadapi pilihan ku.

Waktu terasa begitu singkat, seperti baru saja bertemu, akhirnya aku harus pamit. Jika aku telat dari jam yang ku beritahu suamiku, dia bisa marah dan mungkin akan memukulku lagi. Memar di dada saja belum sepenuhnya hilang.
Tanpa melarang simbok langsung mengiyakan ketika aku pamit, simbok tahu persis penting pengabdian seorang istri pada suami. Banyak pahala mengalir jika seorang istri mematuhi perintah suaminya. Sebenarnya aku merasa begitu sedih, ketika aku ingat harus kembali ke rumah itu. Tapi apa yang bisa ku perbuat? Sepanjang jalan pun aku tak fokus membawa motor, aku tahu ini berbahaya. Tapi dalam pikiranku mungkin malah lebih baik jika terjadi sesuatu kepadaku, mungkin suamiku bisa menjadi berubah tambah sayang padaku, mertuaku mungkin jadi perhatian.

Ahh.. Pikiran gila ini muncul begitu saja, untuk apa aku berharap seperti itu. Sepertinya mereka berubah itu tidak akan pernah terjadi. Hati mereka sudah sesat, semoga aku tidak ikut sesat seperti mereka. Tanpa terasa motor ku sudah melaju gang menuju rumah mertuaku. Aku teringat hendak membeli sabun mandi, akhirnya aku memarkirkan motor di warung dekat rumah mertuaku.

"Beli bu..." seru ku pada pemilik warung

"ehh.. Iya mba, mau beli apa?" tanya seorang ibu yang merupakan pemilik warung tersebut.

"Sabun mandi satu bu" pinta ku

"iya ini mba, tiga ribu harganya. Mba bukannya istrinya iwan yah? Gimana mba tinggal di sini betah tidak?" tanya ibu pemilik warung

"Alhamdulillah ya betah bu, wong tinggal sama suami. Hehe" jawabku

"Ya syukurlah mba, tapi mba nggak kaget kan tinggal di rumah itu?"
Tanya pemilik warung sambil berisik-bisik seperti takut ketahuan

"Kaget gimana bu?" tanyaku polos

"Udah bukan rahasia lagi mb, semua warga disini tahu kalo rumah mertuamu itu ada tempat pemujaan" Jelas pemilik warung yang ternyata bernama ibu Tini.

"Kok bisa pada tahu bu?" tanyaku mencari informasi

"Waktu itu ada penggrebekan dari polisi, suamimu suka main judi di rumah, warga disini yang melaporkannya. Setelah di lakukan penggrebekan itu, ada pak Ilham itu yang depan rumah mertuamu, suaminya ibu Hana yang ternyata ikut masuk bersama pak RT dan para polis. Dan mereka membuka salah satu ruangan yang terdapat banyak sesaji dan ada patungnya." Jelas bu Tini
" Kamu hati-hati yah, aku dengar Iwan juga orangnya kasar, Dulu Iwan juga sudah pernah hampir menikah, tapi batal. Setelah calonnya keluar dari rumah itu sambil menangis, mulut dan hidungnya di penuhi dengan darah. Kami warga disini juga sebenarnya kaget ketika mendengar Iwan menikah dengan kamu." Cerita ibu Tini.

Aku hanya terdiam ketika bu Tini menceritakan itu, aku tak tahu harus merespon ataupun berkata apa. Aku sudah mengalami itu, tapi aku tak tahu apa yang harus ku perbuat. Aku hanya bisa diam dan menangis.

Sesampainya di rumah, suamiku sudah menunggu dengan wajah masam. Padahal aku sudah berpamitan dan pulang tepat waktu, tapi kenapa wajahnya seperti itu. Sesuatu pasti akan terjadi lagi, dab benar saja, baru saja aku masuk dan mengucapkan salam. Suamiku langsung berteriak, dia meminta uang lagi.

"Tadi pagi kan sudah aku kasih uang mas, kok sekarang minta lagi, memang sudah habis? Aku belum gajian mas, uangku tinggal sedikit." jelas ku.

Dan seperti biasa suamiku tak mau tahu apa permasalahan ku. Dia merebut paksa tas yang ku bawa dan mengambil uang yang ada di dalam sana. Sebenernya untuk apa uang itu, apa benar suamiku suka main judi?
Setelah itu dia pergi membawa uang dan menaiki motor.  Aku yang penasaran mencoba mengikutinya dan benar saja motornya berhenti di salah satu warung yang terdapat spanduk besar bertuliskan banyak angka-angka.

Aku segera bergegas pulang, biar nanti saja bila sudah sampai rumah aku akan memastikannya lagi. Tapi seperti biasa, dia pulang hampir subuh dengan bau alkohol sepeti biasa. Aku lama-lama muak dengan tingkah lakunya. Saat aku mencoba bertanya di pakai untuk apa uangku, dia malah menamparku dan memakiku. Lagi dan lagi aku hanya bisa menangis.

Pelet Sang Suami (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang