8. Suamiku

216 6 0
                                    

Sesampainya di tempat kerja, mata ku masih terlihat sembab. Dian yang pagi itu sudah datang malah meledek ku.

" Ciyee... Pengantin baru, pagi-pagi udah nangis aja, baru berpisah beberapa jam aja sudah kangen suaminya." ledek Dian.

Aku hanya tertunduk lesu, tak menggubris ledekan Dian. Sepertinya Dian sadar ada sesuatu terjadi denganku.

" Kamu kenapa Mar? Ada masalah apa? " tanya Dian

" Gak apa-apa kok Yan, masih penyesuaian aja tinggal bareng mertua". Jawabku sekenanya

"Loh, jadi kamu sekarang tinggal di rumah suamimu? Terus simbok mu sendirian?" cecar Dian

"Iya Yan, simbok sendirian. Tapi gak apa-apa kok, kan kakak-kakaku rumahnya dekat, bisa menengok dan menemani simbok bergantian". Jelas ku pada Dian

"Terus kenapa kamu nangis, gak biasanya loh kamu cengeng begini?"

Akhirnya aku menceritakan kejadian tadi pagi kepada Dian, dan respon Dian sesuai dengan dugaanku,

"Jahat sekali mertuamu Mar, suamimu sudah tahu?" tanya Dian memastikan.

"Belum Yan, aku belum cerita apa-apa dengan suamiku. Aku tak enak hati juga jika harus mengadu perihal orang tuanya itu." jawabku lesu

"Kamu harus cerita Mar, setidaknya biar suamimu bisa menjadi penengah, atau paling tidak dia tahu apa yang kamu rasakan di rumah itu." tegas Dian.

Aku hanya tertunduk, memikirkan bagaimana kedepannya jika aku harus terus tinggal di rumah itu. Sepertinya aku harus siap mental. Jika pulang ke rumahku atau bercerita pada keluargaku yang ada malah makin memperkeruh keadaan. Juga akan menambah beban pikiran simbok. Kasihan simbok sudah sepuh, sudah seharusnya beliau tinggal memetik kebahagiaan di hari tuanya. Saat sedang termenung memikirkan itu semua, tiba-tiba handphoneku berdering, ternyata suamiku menelepon.

"Halo, assalamualaikum mas,"

"Kamu kemana Mar, kenapa kamu gak bangunin aku. Apa iya seorang istri pergi tanpa berpamitan dengan suaminya?" teriak suamiku di ujung telpon sana seperti sedang marah besar.

"Aku kan kerja mas, tadi aku mau bangunin kamu, tapi sepertinya tidurmu nyenyak sekali." Jelas ku

"Aku gak mau tahu yah, kamu pulang sekarang juga!" bentak suamiku

Aku begitu kaget, dia marah seperti itu, hanya karena aku tidak berpamitan langsung. Saat aku menjelaskan jika tidak bisa pulang sekarang, dia malah semakin menjadi-jadi. Bahkan mengancam akan datang ke tempat kerjaku dan menjemput paksa.
Aku memang belum lama mengenal Iwan, tapi selama kami sering bertemu aku belum pernah melihatnya marah, bahkan dia sangat baik dan perhatian. Kenapa sekarang dengan hal sepele begini dia begitu murka? Atau memang aku yang yang sudah keterlaluan, mungkin aku yang belum paham kodratnya menjadi seorang istri. Akhirnya aku bersiap pulang setelah mengajukan ijin kepada atasanku. Untung saja atasanku mengijinkannya karena aku termasuk karyawan yang rajin dan jarang mengajukan cuti.

Sesampainya di rumah, suamiku sudah menunggu di depan pintu rumah, dengan wajah yang merah.

" Sini kamu!" teriak suamiku sambil menarik paksa tanganku yang baru saja selesai memarkirkan motor.

"I.. Iya mas, pelan-pelan tanganku sakit" aku merengek sambil menahan sakit.

"(Plak...)"

Sebuah tampar mendarat di pipiku, begitu perih rasanya, tapi lebih perih lagi hati ini mendapatkan perlakuan yang belum pernah ku alami apalagi suamiku sendiri yang melakukannya.

"kurang ajar kamu jadi istri!" Teriak suamiku

"Maaf mas, iya aku salah, lain kali aku bakalan bangunin mas dulu." jawabku sambil menangis tersedu-sedu.

"Ya sudah sana, siapin makananku. Aku sudah lapar!" bentak suamiku

Masih dengan air mata yang mengalir deras di pipiku, aku pergi menuju dapur. Aku semakin bimbang, bagaimana jika aku menceritakan masalah perilaku orang tuanya tadi pagi? Apa respon suamiku nanti, apa iya dia akan membela ku. Masalah seperti ini saja dia sudah kasar denganku.
Saat sedang menyiapkan makanan, tiba-tiba bulu kuduk ku berdiri, aku sudah merasakan pasti ada sesuatu. Dan benar saja, di dekat pintu dapur, sosok semalam yang kulihat menampakkan dirinya. Sekarang yang kulihat bukan hanya sekedar bayangan, sudah terlihat kain kafan yang lusuh dan penuh dengan tanah. Tapi aku belum bisa melihat wajahnya.
Gawat ini, jika suasana hatiku kacau pasti akan lebih sensitif dengan hal-hal seperti ini. Aku mencoba berani, jika aku takut pasti sosok itu akan tambah mendekatiku. Sambil komat-kamit mulut ku membaca doa yang ku bisa, aku berjalan mendekati pintu dapur dan untung sosok itu menghilang.

Saat hendak kembali ke meja makan, tiba-tiba aku mencium bau bunga melati yang sangat tajam dari arah ruangan tertutup itu. Padahal mertuaku sama sekali tidak punya tanaman, kalau dari tetangga tidak mungkin, semua bangunan sudah tertutup rapat. Pelan-pelan kaki ku melangkah mengikuti bau bunga itu, namun saat sampai di depan pintu ruangan itu, tiba-tiba suamiku memanggil.

"Lama sekali kamu, cuma ambil makanan saja!" bentak suamiku

Besok saja aku melihat-lihat ruangan itu, sepertinya ada yang tidak beres. Perasaanku mengatakan di ruang itu ada apa-apanya, pikirku. Aku pun segera menemui suamiku daripada dia nanti tambah marah lagi. Tidak lupa aku membawakan makanan dan minumannya.

"Ini mas makanannya, oh ya mas, ibu sama bapak di toko biasanya sampai jam berapa?" tanya ku basa-basi

"Sampai nanti malam, emang kenapa?" jawab suamiku

"Oh, gak apa-apa. Cuma nanti kalau menyiapkan makan malam kan jadi sudah tahu." jawabku asal, aku pun bertanya lagi perihal tadi pagi kenapa makan dari simbok di buang.

"Mas, emang ibu sama bapak gak suka makanan apa aja? Atau ibu sama bapak emang gak suka makanan dari orang lain yah?" tanya ku penuh selidik

" Ah enggak kok, bapak ibu suka semua makanan, itu kalau ada makanan dari tetangga juga di makan." jawab suamiku sambil menyuap nasi satu sendok penuh kedalam mulutnya.

"(Deg..) "

Aku begitu kaget dengan jawaban suamiku. Terus kalo suka semua, kenapa pemberian simbok di buang?
Apakah suamiku tahu kejadian ini?

" Mas tahu gak kalo makanan dari simbok di buang ibu?" tanyaku sedih

"Mar aku kasih tahu yah, mulai sekarang kamu gak usah lagi menerima apa-apa dari keluargamu, ngerti!!" teriak suamiku

Berarti dia tahu semuanya,
"Memangnya kenapa, apa yang salah dengan keluargaku?" cecarku

"Kamu itu sudah jadi istriku, kamu itu milikku Mar, kamu hanya harus nurut dengan aku, suamimu! Kalo aku bilang gak boleh ya berarti gak boleh, gak ada pertanyaan ataupun tapi-tapi. NGERTI!" bentak suamiku sambil berdiri meninggalkan ku.

Egois sekali dia, dalam hati ini sebenernya sudah ingin sekali memakinya dan menjawab semua kata-katanya. Tapi entah kenapa mulut ini selalu terkunci jika sudah berhadapan dengan dia. Akal pikiranku seperti tidak berfungsi jika sudah bersamanya.



Pelet Sang Suami (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang