Sebelum baca jangan lupa, votenya ya!!!
Happy reading!!!
🍰🍰🍰
""Kenapa kalian saling bertatapan?" tanya Adam, matanya bergantian menatap Jane dan Leona dengan pandangan penuh curiga, seolah menuntut penjelasan.
"Ah, bukan apa-apa, Papa," jawab Jane kikuk, berusaha untuk tersenyum tapi jelas ada sesuatu yang coba ia sembunyikan.
"Kalian terlihat mencurigakan," kata Adam dengan nada tegas. Pandangannya tertuju tajam ke wajah putrinya, membuat Jane sedikit gelisah.
Tiba-tiba, suara kepala pelayan memecah ketegangan. "My Lord, kereta sewaan telah tiba," lapornya dengan sopan. Mereka memang tidak memiliki kereta sendiri, itu hanya dimiliki oleh bangsawan kaya-raya. Jane menarik napas lega, merasa diselamatkan dari situasi canggung tadi.
"Sebaiknya Papa segera pergi. Bukankah urusan Papa lebih penting?" bujuk Jane, berusaha terdengar seramah mungkin, meski hatinya sedikit tertekan oleh pertanyaan ayahnya tadi.
"Kau benar," jawab Adam sambil bangkit dari kursinya. Ia berjalan keluar rumah dengan langkah mantap, tanpa menyadari kegelisahan putrinya.
Setelah pintu tertutup, Jane menarik napas panjang dan melepaskan ketegangan yang sempat melingkupinya. "Lain kali hati-hati! Aku tidak mau Papa mengetahuinya," ucap Jane setengah berbisik kepada Leona.
Leona hanya tersenyum tipis. "Aku akan lebih hati-hati lain kali, My Lady. Tapi kenapa Anda begitu takut jika ayah Anda tahu? Kalau aku jadi Anda, aku akan langsung memberitahu papaku," katanya dengan nada percaya diri, seperti hal itu adalah perkara sederhana
Jane tersentak dalam hatinya. "Kau tidak tahu kalau ini hanya sebuah kontrak," gumamnya dalam hati, menekan rasa frustrasi yang tiba-tiba muncul. Hubungan yang terlihat sempurna di luar sebenarnya hanyalah kesepakatan formal yang kosong dari cinta
Leona menatap wajah Jane yang tampak murung. "Kenapa Anda diam, My Lady?" tanyanya penuh rasa ingin tahu, tampak jelas bahwa Jane tidak terlihat bahagia dengan pertunangannya dengan Duke of Derbyshire, meskipun di mata orang lain hal itu seharusnya menjadi kebanggaan.
Jane hanya menggelengkan kepala pelan. "Tidak ada apa-apa. Sebaiknya aku bersiap-siap. Aku akan ke taman," katanya sebelum meninggalkan ruangan. Ia merasa perlu menyendiri, untuk menjernihkan pikiran. Jane mengambil peralatan melukisnya dan bergegas keluar rumah.
"My Lady, tunggu! Aku akan mengambilkan payung untuk kita!" teriak Leona dari dalam rumah, tetapi Jane hanya menggeleng.
"Tidak usah, aku akan pergi sendiri," jawab Jane sambil terus berjalan. Gadis itu sudah berada di luar pintu rumahnya.
Udara segar musim semi menyapanya begitu ia keluar dari rumah. Taman, dengan segala keindahannya, adalah tempat pelariannya. Di sana, Jane bisa melupakan sejenak tekanan yang dirasakannya, entah hanya dengan duduk diam atau melukis pemandangan di sekitarnya.
Setibanya di taman, Jane mulai mengeluarkan peralatan melukisnya. Cuaca cerah dan bunga-bunga mulai bermekaran, menyambut pertengahan musim semi dengan penuh warna. Ia duduk di bangku yang biasa ia tempati, tepat di dekat danau kecil yang memantulkan sinar matahari di permukaannya.
Jane memperhatikan sekelilingnya sepanjang jalan, siapa tahu ia menemukan objek yang akan dilukis.
Beberapa anak kecil tampak berlarian, tertawa riang di taman, menambah keceriaan suasana. Jane tersenyum tipis, merasa terinspirasi oleh kebahagiaan mereka. Ia mulai menggoreskan kuas di atas kanvas, menggambarkan keceriaan anak-anak tersebut. Wajah-wajah ceria mereka seakan menular, membuat Jane lupa sejenak tentang beban yang menghimpit pikirannya.
Waktu berlalu tanpa terasa, dan Jane tenggelam dalam sketsanya. Namun, suara orang-orang mulai berkurang seiring dengan siang yang semakin mendekat. Orang-orang di taman mulai pergi, mungkin bersiap untuk makan siang, meninggalkan taman dalam keheningan yang damai.
Jane tersenyum puas melihat hasil karyanya. Sketsanya belum sempurna, tapi sudah cukup memberi gambaran tentang keceriaan yang ingin ia tangkap. Dengan hati-hati, ia sapukan kuasnya sekali lagi, menambahkan detail di latar belakang danau
"Sangat cantik, seperti orang yang melukisnya." Pujian dari seseorang membuat konsentrasi Jane buyar. Gadis itu menghentikan gerakan tangannya dan menoleh ke belakang ke arah suara pria yang memuji lukisannya. Jane hanya melihat sekilas dan ia kembali menggerakan tangannya, mulai melanjutkan lukisan.
"Apa kau sering melukis di sini?" tanya pria tersebut. Jane menarik nafas dengan kesal karena ia hanya ingin serius melukis. Si pria dengan tidak tahu malu duduk di kursi taman di samping Jane. Gadis itu mengabaikan si pria, berpura-pura keberadaan pria itu hanya angin lalu.
Pria itu menggeser duduknya agar dapat melihat lukisan yang tengah dikerjakan Jane. "Mereka terlihat ceria dan hidup di dalam sana," tunjuk pria itu pada anak-anak dalam lukisan Jane.
Jane berusaha tetap tenang, meski dalam hatinya ia mulai gerah. Ia tidak bisa terus membiarkan ini berlanjut, apalagi jika ada orang yang melihatnya berduaan dengan pria tak dikenal. "Maaf, Sir. Saya di sini hanya sendiri dan tanpa pendamping. Bisakah Anda memberi jarak di antara kita? Dan saya harap Anda juga tidak mengganggu saya?" katanya tegas, mencoba menjaga kehormatan diri di hadapan orang asing itu.
Jane merasa tidak nyaman dengan pria tersebut yang terlalu dekat dengannya. Jane tidak ingin ia terlihat tidak sopan berada berduaan di muka umum dengan pria yang tidak dikenalnya. Gosip sangat cepat menyebar. Meski pria itu terlihat terhormat.
Pria itu tampak tersenyum, tidak tersinggung sedikitpun. "Baik, aku akan menjauh." Ia menggeser duduknya sedikit, meski masih berada dalam jarak pandang Jane. "Sebagai gantinya, bolehkah aku tahu siapa namamu, My Lady?" Pria itu menatap wajah cantik Jane. Meski Jane memakai pakaian yang sedikit lusuh untuk ukuran gadis bangsawan. Namun, ia dapat melihat kecantikan Jane. Apalagi mata gadis itu.
Jane mendesah pelan, semakin kesal dengan keberanian pria itu. Ia memutuskan tidak ingin berlama-lama di sana. Dengan cepat, ia mengemasi peralatan melukisnya, tidak lagi peduli dengan kesempurnaan penataan barang-barangnya. Yang penting baginya adalah segera pergi dari situ.
Ketika ia bangkit dari tempat duduk, pria itu masih berusaha menarik perhatiannya. "Tunggu, setidaknya katakan namamu!" teriaknya dengan nada sedikit memohon.
Jane tidak menghiraukannya. Ia terus berjalan dengan langkah cepat, meninggalkan pria yang masih berdiri kebingungan di belakangnya. Sambil menahan amarah, Jane mengingatkan dirinya untuk lebih berhati-hati di masa depan. Taman yang biasanya menjadi tempat pelariannya kini terasa tidak lagi seaman dulu.
Namun, ada satu hal yang mengganjal dalam pikirannya. Pria tadi, meskipun mengganggu, tampak familiar baginya. Seolah-olah ia pernah melihat sosok itu di suatu tempat. Mungkin di salah satu pertemuan sosial atau acara dansa. Jane menggelengkan kepala, berusaha melupakan insiden tersebut. Ada hal yang lebih penting untuk dipikirkan, seperti pertunangannya yang tidak diinginkannya, dan masa depannya yang mulai tampak buram di depan mata.
🍒🍒🍒
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasih Kontrak Sang Duke
RomanceJane Elizabeth Grey, putri dari Earl of Winchester, tidak sengaja melihat penolakan lamaran oleh Kristy Dudley, putri Marquees of Hedridge terhadap Galen William Austin, Duke of Derbyshire. Gosip Kristy menolak Gallen menjadi scandal di London. Gall...