15. Disambut Resah

19 2 0
                                    


Bisa dibilang Anya sudah mati rasa terhadap ayahnya. Jadi ketika bertemu muka dengan pria yang masih sangat bugar itu, Anya hanya tersenyum kecut lantas berharap bisa segera melenggang santai mendekati tempat duduk Seno setelah melontarkan satu kalimat sederhana sebagai jawaban dari pertanyaan sang ayah.

"Lagi kerja," singkat gadis itu lantas berlalu dari hadapan Ruben.

"Bagaimana kabar kamu, Nak? Susah sekali papa coba hubungi kam—"

"Sehat, dan aku sibuk." Itu saja respon yang Anya beri tanpa repot-repot menoleh pada mantan suami ibunya itu.

"An—"

"Om Ruben, sehat Om?" tentu saja kalimat bernada ramah ini bukan berasal dari Anya. Melainkan dari Reno yang sigap bangkit berdiri setelah mencekal siku Anya agar gadis itu menghentikan langkah.

"Sehat, sehat. Kamu seniornya Anya yang di kampus itu kan?" Ruben tersenyum ramah tatkala menyambut uluran tangan Reno.

"Iya, Om. Syukurlah kalau Om masih ingat, dulu saya yang sering antar jemput Anya ke kampus. Sekarang kami bekerja di tempat yang sama."

"Ren, gue laper!" potong Anya lantas menarik paksa lengannya. "Sana ngobrol aja berdua tanpa gue," sambungnya lagi sambil melangkah menjauh.

Terlihat sekali kalau Anya benar-benar tak ingin bersinggungan secara langsung dengan ayah kandungan. Jadi tanpa menoleh lagi Anya langsung duduk di kursi yang tadi ditempati Reno. Sengaja mengambil posisi membelakangi dua pria beda generasi itu. Juga memilih untuk menebalkan telinga demi tak mendengar percakapan antara Reno dan ayahnya.

Rindu akan sosok ayah itu sudah pasti ada dalam sanubari Anya. Namun sekali lagi, rasa sakit hati gadis berambut panjang itu jauh lebih mendominasi. Jadi, meskipun Ruben tetap ramah dan selalu menunjukkan kasih sayang pada sang putri, dengan senang hati Anya agak bergerak pergi dan menolak segala perhatiannya mentah-mentah. Anya juga tak sungkan menebar jarak dan bersikap dingin pada pria yang berjasa menghadirkannya ke dunia ini. Iya, sebeku itu kini hati Anya untuk ayahnya sendiri.

Lebih dari sepuluh menit Anya memilih sibuk dengan makanannya tang enak luar biasa. Sampai satu tepukan menyentuh pundaknya dari belakang. Dan sudah pasti itu tepukan dari Reno.

"Kalem dikit kalau makan, kelaparab banget deh keliatannya. Kayak orang gak makan lima bulan tau?" ledek Reno setelah duduk di hadapan Anya.

"Udah acara ramah tamahnya?" sindir Anya sengaja menyinggung interaksi Reno dan Ruben beberapa saat lalu. "Kok, cuma bentar?"

"Iiishh... lo gitu banget deh sama calon mertua gue?" Reno kembali mengacak rambut Anya.

"Ciee, iya deh yang calon mertua lo, kan bukan bokap gue."

"An—"

"Buruan makan, telat ke airport baru tau rasa lo!" sela Anya tak ingin melanjutkan pembahasan tentang ayahnya meski itu dibalut candaan oleh Reno.

"Tapi An—"

Ah sudahlah, Reno macam tak paham saja kalau amarah Anya masih setinggi puncak Himalaya pada ayahnya.

Anya bangkit berdiri setelah menggebrak meja dan mendesiskan umpatan. "Gue duluan deh!!" gadis cantik tak berniat meninggikan suara, namun tetap saja terdengar memekik di telinga Reno.

Reno menarik napas panjang. Meladeni Anya yang sedang dirundung emosi akan menjadi episode yang sangat panjang. Apalagi dirinya hanya orang luar, jadi bagaimana pun kerasnya mencoba mendamaikan Anya dan Ruben, tak akan berpengaruh sama sekali jika sahabatnya sendiri enggan membuka hati.

"Heii, tunggu, An!" Reno cepat-cepat menghabiskan minumannya lantas berjalan cepat demi mengikis jarak langkah dengan Anya.

"Maaf," Reno mengusap puncak kepala Anya ketika keduanya duduk bersisian di dalam mobil yang akan mengantar ke Bandara.

Sweet StalkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang