Sudah empat hari Anya menemani sang ibu yang dirawat intensif di rumah sakit. Mau tak mau ia harus mengatur ulang jadwalnya sebagai pembawa acara pernikahan di Bliss Wedding, juga jadwal bertemu dengan mahasiswa yang membantu mengerjakan skripsinya. Bukannya kesal atau tak rela, tapi terkadang Anya sendiri yang merasa tak enak hati karena perubahan jadwal yang mendadak. Bersyukurnya ia karena rekan-rekannya mengerti.
Tak banyak kerabat Anya dan sang ibu yang tinggal di Surabaya. Karena sebagian besar masih tinggal di tanah kelahiran sang ibu, Batam. Kerabat dekat dari jalur ayah Anya, Ruben, sempat datang menjenguk, namun tak banyak. Biarlah sudah, pikir Anya. Toh, Anya sudah sangat terbiasa hidup hanya berdua dengan Endang hampir sepuluh tahun lamanya.
"Anyaaaa!!" pekik beberapa suara dari balik pintu kamar rawat.
Anya menoleh dan melengkungkan senyum lebarnya ketika mendapati Prita, Sandra juga Reno sudah bergerombol berebut masuk ke kamar sang ibu. Gadis itu memang sudah memberitahukan perihal kesehatan sang ibu yang menurun pada Reno juga rekan kerjanya yang lain. Jadi ia juga sudah tak heran ketika tiga sahabatnya itu mendadak muncul di kamar perawatan Endang.
"Nggak nyasar kan lo pada?" gelak Anya saat menyambut tepukan dari Prita.
"Heleeh, nyari gini doang mana mungkin nyasar. Begitu kita bilang mau ke suite room, sama security langsung dikawal ke sini dong," jawab Sandra lantas terkekeh samar.
"Tante udah enakan kan?"
Prita dan Sandra yang sudah beberapa kali bertemu dengan Endang langsung mengerubungi ibu Anya itu setelah menyerahkan bingkisan yang ia bawa pada sang sahabat.
"Alhamdulillah, sudah lebih baik. Terima kasih ya, kalian sudah menyempatkan mampir sini, padahal lagi sibuk ya? banyak acara nikahan," jawab Endang lirih.
"Alhamdulillah, Tante. Sesibuk apapun kerjaan kami, kalau Pak Bos udah nyeret ke sini, pasti aman kok, Tante," respon Sandra sembari melirik Reno yang berdiri di ujung tempat tidur.
"Makasih juga ya Nak Reno," Endang mengalihkan pandangan pada Reno yang mengangguk dan tersenyum sembari memasukkan kedua tangannya pada kedua saku celana. "Beruntung banget Anya punya teman-teman yang baik hati kayak kalian."
"Yang baik hati dan tidak sombong cuma aku, Tante. Mereka berdua sama kampretnya," seru Sandra melirik acuh tak acuh pada Reno dan Prita.
"Heleh, sesama spesies kampret nggak usah sok muji diri sendiri deh elo," protes Prita tak terima.
"Heh, kalian berdua sedikit berlagak kalem kek di depan mama gue!" sela Anya menimpali.
"Duuh, maaf ya Tante, belum apa-apa kami udah berisik. Tapi aslinya kami kalem dan anggun kok," Sandra mengusap pelan punggung tangan Endang yang bebas dari jarum infus.
Endang menghabiskan waktu beberapa untuk bersenda gurau dengan sahabat-sahabat sang putri yang cukup menghibur harinya. Sebelumnya, perempuan paruh itu belum pernah tertawa selepas hari ini sejak masa perawatan, namun kehadiran Reno dan kedua temannya yang lain ternyata cukup membuat suasana hatinya membaik.
"Thanks ya kalian bertiga udah sempet-sempetin waktunya ke sini, padahal habis event di Gresik kan tadi pagi?" seru Anya begitu duduk santai dengan ketiga sahabatnya di sofa panjang yang ada tak jauh dari tempat tidur sang ibu. Tempat tidur Endang dan sofa yang menjadi ruang tamu hanya dibatasi partisi kayu dengan ukiran klasik, jadi Anya tetap bisa mengawasi sang ibu yang kini terlelap setelah pemberian obat oleh dokter yang menanganinya beberapa saat lalu.
"It's okay An, toh acara tadi pagi udah clear, jadi sorenya kita sengaja mampir sini buat nengokin nyokap lo. Sama elo juga sih, kangen gue..." Prita dengan santainya merebahkan kepala di pundak Anya. "Kayaknya yang belakangan ini sibuk sama segala macem kerjaan itu elo, kenapa Tante Endang yang ngedrop deh," sambung gadis itu lagi.
"Ya, namanya orang sakit, gimana bisa diprediksi, Prita." Anya tergelak samar tapi tetap menjaga suaranya agar tak terlalu berisik.
"Iya sih, terus gimana kata dokter?" Prita menegakkan duduknya lagi demi mendengar jawaban dari sahabatnya.
"Hmmm, jantung mama kambuh. Padahal gue kira udah sembuh total karena sudah tahunan mama nggak pernah ngeluh soal penyakit jantungnya." Anya mendesah pelan tampak tak semangat saat mengingat diagnosa dokter.
"Tapi nggak ... hmmm ... parah kan?" Kali ini Reno yang ikut bertanya.
Punggung Anya melorot di sandaran sofa. "Entah, kata dokter masih dalam pantauan. Karena kali ini yang bermasalah itu di otot-otot jantung mama, gue nggak paham istilah mereka, tapi garis besarnya sih, sudah termasuk membahayakan. Apalagi kalau mama terlalu lelah atau shock akan sesuatu."
"Gue ada kenalan dokter jantung yang dulu pernah pegang papa gue, mau?" Reno sedikit memajukan tubuhnya dan menumpukan siku pada kedua lutut. Wajahnya yang biasa slengek'an dan jahil, kini terlihat sangat serius.
"Thanks Ren, tapi mama udah dihandle sama dokter yang oke juga di sini. Gue udah baca track recordnya, terapis mama juga praktek di rumah sakit ini. Jadi ya sekalian aja." Anya sangat berterima kasih dengan perhatian dan tawaran dari Reno. Akan tetapi ia juga sudah percaya sepenuhnya dengan Dokter Adhi, dokter jantung yang menangani sang ibu sejak dirawat
"By the way, An. Elo naikin kelas asuransi kesehatan lo? sampe pindah ke kamar super duper wow ini?" Akhirnya Sandra menyerukan rasa penasaran yang sejak tadi ia tahan.
Anya menggeleng pelan. "Nope. Kayaknya gue lagi beruntung aja kalau soal kamar ini," Anya menerawang ke kanan kiri mengamari kamar mewah yang beberapa hari ini ia tinggali. "Sehari begitu mama masuk, ada program dari rumah sakit yang entah apa namanya. Tau-tau perawatan mama dipindah ke sini, semua fasilitas dan perawatan dapet nomor wahid."
"Whoaah, ajib ya. Gue aja baru tau ada kamar rawat super mewah kayak gini. Makanan ringanya aja udah kayak di hotel-hotel bintang lima." Prita kembali menyomot Syrniki Pancake yang tadi diantar oleh staff catering rumah sakit.
"Maklumlah, mama gue kan punya putri cantik nan solehah macem gue. Wajar kalau beruntung kayak gini." Anya tertawa samar saat menoleh pada sang ibu yang masih memejamkan mata.
"Kali ini gue setuju sama elo, An. Doa anak soleh pasti cepet dijabah, tapi akan lebih adol lagi kalau duet sama mantu sholeh," seru Reno menepuk pundak Anya. "Setiap hari gue bakalan ke sini ya? mau ngelobi nyokap lo, biar dilolosin jadi mantunya. Gue soleh banget kok orangnya!"
"Basii!! Gue yang nggak rela patah hati tiap hari kalau punya pasangan playboy kelas doktoral macem elo, Ren!" Anya bergidik ngeri.
"Jangan mau, An. Meski Reno statusnya bos kita, jangan maulah sama playboy macem dia. Daripada tiap hari ngelus dada. Tadi aja sepanjang perjalanan ke sini, doi nggak putus-putusnya nerima telpon dari koleksi cewek-ceweknya. Astagaa... gedek gue," sahut Prita tak takut mencibir atasannya.
Meski ketiganya sangat professional di tempat kerja, namun di luar pekerjaan seperti ini mereka tetaplah sahabat baik yang sama-sama tak tahu malu untuk saling mengumpat saat mengomentari satu sama lain.
"Heh, itu bukan koleksi cewek gue kali. Mereka cuma fans berat yang bakal kegerahan aja kalau sehari nggak lihat wajah tampan gue." Reno mengangkat dagunya pongah.
"Terus, kalau mereka kegerahan, elo yang jadi relawan buat ngelepas kancing mereka gitu?" sambung Prita makin menjadi.
"Heeh, kagak lah... mereka mana pake baju yang ada kancingnya. Langsung dress dong!" Reno langsung sigap menyambar lelucon tersebut tanpa ragu sambil tergelak kencang.
"Astaga... kenapa dunia gue nggak jauh-jauh dari para playboy ya?" desis Anya setelah menggeleng tak habis pikir saat mendengar perbincangan Prita dan Reno.
"Para playboy? playboy lainnya siapa lagi? berani banget saingan sama gue buat dapetin elo, An." Reno menegakkan punggung seolah siap adu urat.
Anya kembali mengacak rambutnya sekilas, sebelum mengikatnya tinggi lagi. Satu playboy seperti Reno saja sudah membuatnya geleng-geleng kepala. Kini hadir lagi seorang Seno yang kelihatannya sebelas dua belas dengan sifat Reno. Tampan, anak sultan, isi dompet tak diragukan, plus dikelilingi gadis-gadis menawan.
Untung saja mereka berdua ini bukanlah pria yang menjadi tipe Anya sama sekali. Eh, tunggu ... tapi kenapa tiba-tiba Anya mengingat Senopati di saat tak terduga seperti ini. Padahal sebelum-sebelumnya tak pernah melintas sedetikpun bayangan pria jangkung dengan wajah rupawan yang kemarin berhasil membuatnya betah duduk di café dan membiacarakan banyak hal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Stalker
RomanceAnya, gadis cantik yang punya pekerjaan rahasia sebagai penguntit profesional harus menerima takdirnya ketika tanpa rencana hatinya tertaut pada Senopati Rajata. Clientnya sendiri. Senopati, seorang playboy kelas kakap dan kaya raya dari trah Dwisas...