17. Denial

22 3 0
                                    

Seno sangat sadar kalau belakangan ini ada yang salah dengan dirinya. Bukan penyakit atau kelainan pada tubuh, bukan sama sekali. Melainkan hatinya yang mendadak terserang aliran listrik aneh setiap kali memikirkan Anya. Bukan hanya sengatan listrik rasanya, tapi otak Seno juga mendadak korslet tiap kali bayangan gadis cantik itu melintas dalam benaknya. Ini salah, jelaa-jelas salah. Karena Anya adalah orang yang ia pekerjakan untuk membuntuti Yosa yang notabene calon tunangannya, calon pasangan hidupnya. Kalau sampai hati Seno malah berbelok pada Anya, tentu saja itu tak sesuai dengan jalur yang semestinya.

"Nih Gan, berkas yang lo minta langsung gercep gue dapetin kan?" suara Hanif yang meletakkan beberapa map di meja kerja Seno, membuat pria itu memutar kursi seketika.

"Weeh, cepet banget. Thanks bro, kalau gue yang minta pasti pada heboh anak-anak admin di bawah," kekeh Seno mulai membuka satu persatu map yang ia cari.

"Ya iyalah, pasti mereka pada kasak kusuk penasaran, ngapain juga calon pemilik RS malah sibuk gak jelas nyari rekam medis pasien yang masuk UGD," cibir Hanif saat melesakkan bokongnya untuk duduk di sofa kecil dalam ruangan Seno.

Aah, sebenarnya ini belum resmi menjadi ruang kerja Seno, karena ia pun belum resmi mengambil alih kepemimpinan rumah sakit. Kata sang opa, seno masih harus digembleng lagi dalam beberapa hal. Juga sekaligus menunggu terlaksananya pernikahan Seno yang menjadi syarat utama dari sang opa. Jadi ya ... ruangan luas yang ada di lantai empat rumah sakit ini masih menjadi ruang kerja sementara si sulung Dwisastro itu.

"Gue cuma butuh ... ini." Seno menarik satu map berwarna hijau muda dan mengangkatnya ke udara. Map yang halaman depannya tertulis jelas nama Endang Muchtar, pasien yang dibawa oleh Anya beberapa jam lalu.

"Itu data ibunya si Reva Reva itu, Gan. Pasien dengan riwayat jantung, pernah juga jadi pasiennya Dokter Isya. Sudah beberapa kali terapi karena depresi. Tapi sekarang masuk lagi karena penyakitnya yang lain." Hanif memberi tambahan penjelasan bahkan sebelum diminta oleh bosnya.

Seno hanya mengangguk-anggukkan kepala seolah paham. Padahal ia sendiri tak paham apa tujuannya mencari tahu tentang Anya lebih dalam seperti ini. Sepertinya ia hanya ingin menuntaskan rasa penasaran pada sosok penguntit cantik itu.

"Terus?" kejar Seno lagi.

"Kalau dari rekam medis nyokapnya, ya cuma itu. Nggak ada info lain tentang Reva, selain dia yang selalu tanda tangan sebagai penanggung jawab pasien. Keterangannya sih anak kandung. Itu aja, nggak ada nama anggota keluarga yang lain."

Seno mengangguk lagi.

"Elo kenapa jadi demen cari tau tentang Reva gini sih? Kenapa nggak fokus ke Yosa aja?"

Seno mengangkat kedua bahunya santai. "Entah," pria itu mengetukkan jari telunjuknha ke atas meja kaca. "Gue cuma penasaran, karena gue yakin ... sangat yakin, kalau gue pernah ketemu sama dia di masa lalu. Wajahnya familiar banget, Nif," lanjutnya mantap.

"Halu kali," cebik Hanif lagi.

"Nggak ah, gue yakin banget kok."

"Secara ya, cewek-cewek di sekitar lo kan lusinan, mana tiap hari ganti pula," sindir sahabatnya itu lagi sembari tergelak samar.

"Ckk, lusinan itu mah selingan, Nif. Sambil nyari yang bener-bener klop sama hati gue, yang sefrequensi gitu," kelakar Seno tanpa tersinggung.

"Emang Yosa kurang sefrequensi?"

"Dia temen baik gue, Nif. Jujur, gue sebatas nyaman menjalin kedekatan sama Yosa. Tapi untuk sayang atau cinta..." Seno menggeleng pelan. "Perasaan itu belum ada."

"Hadeeuh, lo pikir gue bakalan percaya sama kata-kata mutiara yang keluar dari mulut playboy durjana."

Hanif terkikik lagi sebelum menegakkan punggung di sandaran sofa. Dipandanginya lukisan super besar dengan sosok pendiri sekaligus pemilik rumah sakit swasta ini. Sosok renta yang begitu cerdas dan bersahaja yang dengan murah hati mengangkat derajat keluarga Hanif hingga titik ini.

Sweet StalkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang