18. Over PD

24 3 0
                                    


Anya berdiri dari tempat duduknya setelah baru saja selesai menyuapi sang ibu. Pintu kamarnya diketuk pelan, tapi belum sempat ia membuka sudah ada seorang perawat dan satu orang pria yang sepertinya pegawai rumah sakit juga yang mendampingi.

"Dengan keluarga Ibu Endang?" pria jangkung itu membuka pembicaraan.

"Iya betul, saya putrinya." Anya menarik kursi yang tadi ia tinggalkan, lantas duduk berhadapan dengan pria tersebut yang sudah lebih dahulu duduk di sofa tunggal dengan beberapa map di pangkuannya. "Ada apa ya, Pak? Apa kelengkapan ibu saya ada yang kurang?"

"Sebenarnya tidak ada yang kurang, Mbak. Kami ke sini ingin menyampaikan kalau kamar perawatan Bu Endang dipindahkan ke suite room di lantai tiga. Perawat ini yang akan membantu pemindahan Ibu Endang." Pria yang tak lain adalah Hanif itu langsung menjelaskan maksud kedatangannya.

"Tapi dari pihak asuransi kesehatan yang saya pakai biasanya pakai kamar sejenis ini, Pak. Kelas satu, ini sudah lebih dari cukup untuk kami."

Hanif meringis lantas saling melirik dengan perawat yang sudah ia kenal lama. Menggaruk rambutnya yang tak gatal, pria itu menghembuskan napas panjang lantas lanjut berbicara. "Hmm ... sebenarnya ini ada program baru dari rumah sakit kami, dan Ibu Endang adalah pasien yang beruntung unutk mendapatkannya. Silakan Mbak bersiap, perawat kami akan membantu di sini sampai selesai."

"Tapi pihak asuransi tidak ada mengabarkan sama sekali, Pak. Bagaimana kalau tiba-tiba kami dibebankan selisih biay—"

"Aaah, soal biaya ... Mbak nggak perlu khawatir karena tidak akan menuntut pembayaran lebih atau meminta tambahan selisih dari plafon asuransi. Semuanya bebas biaya, jadi kami mohon Mbak dan Ibu Endang bisa dengan senang hati menerima program special tahunan ini."

Hanif tersenyum hingga menyipitkan mata lalu dengan cepat mengatupkan bibir. Kalau bukan karena titah bosnya, manalah mungkin sepagi ini ia sudah berlakon sebagai humas rumah sakit dan membujuk Anya serta ibunya untuk pindah ruangan.

"Kenapa, Cantik?" suara lirih sang ibu membuat Anya menoleh seketika.

Anya gegas bangkit berdiri dan mendekati ibunya yang mulai lancar berbicara meskipun badannya masih terlihat lemah. "Ahh, nggak ada apa-apa, Ma. Ini dari pihak rumah sakit cuma ngasih tau kalau kita dapat reward special buat pindah ke suite room, kamar perawatan paling lengkap dan mewah di rumah sakit ini."

Endang tak paham karena selama ini selalu Anya yang mengurus administrasi terkait kesehatannya. "Terus maksudnya gimana?"

"Kita dimin—"

"Ibu Endang akan dipindah ke kamar perawatan terbaik di rumah sakit kami. Semuanya tanpa tambahan biaya." Tentu saja ini bukan suara Anya, karena Hanif ternyata sangat peka, sehingga ia langsung mendekat dan berakting sebagai marketing handal yang memasarkan jasanya. "Tinggal beres-beres barang bawaan, lalu bisa pindah sekarang juga dibantu oleh perawat kami," sambung pria itu semakin melebarkan senyum.

"Gimana?"

"Hmm, saya ngikut apa kata putri saya aja, Pak," ujar Endang serupa bisik saat melirik ke arah Anya.

Mendapat perawatan terbaik juga fasilitas kamar nomor wahid secara cuma-cuma? siapa yang sanggup menolak. Begitu pula dengan Anya yang akhirnya memberi satu anggukan tanpa setuju. Hanya perlu mengemas barang bawaannya yang tak begitu banyak, dalam hitungan menit ia dan ibunya sudah berpindah ke lantai tiga. Tepatnya di kamar rawat yang lebih mirip dengan kamar hotel bintang lima. Di kelas satu saja, bagi Anya fasilitasnya sudah sangat mencukupi, apalagi ketika ia kini pindah ke kamar ini.

"Ma, boleh aku ke bawah sebentar? Mau ngopi sekalian nelpon pihak asuransi, biar plafonnya nggak kepotong karena program dari rumah sakit ini," pamit Anya pada sang ibu setelah memastikan Endang nyaman dengan ruangan barunya. Juga setelah memastikan ada asisten rumah tangganya yang akan menemani beliau. Bi Yarni yang tadi ia hubungi pagi-pagi sekali baru saja datang dengan membawakan baju ganti untuk majikannya.

Sweet StalkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang