8 - Pria Itu Lagi

10 3 0
                                    


Anya langsung mengurung diri begitu selesai dengan makan malamnya. Tentu saja setelah memastikan sang ibu sudah beristirahat di kamarnya, juga asisten rumah tangganya sudah pulang. Gadis itu tak ingin ambil resiko jika meninggalkan lantai satu rumahnya dalam keadaan belum terkunci rapat semua.

Begitu selesai membersihkan diri, Anya beralih ke balkon di samping kamarnya. Memandangi langit malam yang berhias petir dari kejauhan. Sesekali matanya memindai hasil jepretan di kamera yang ia ambil tadi siang. Saat membuntuti Yosanna Adriani tentu saja.

Ada perasaan yang berbeda saat Anya menyetujui pekerjaannya sebagai stalker kali ini. Bukan karena clientnya yang seorang crazy rich kenamaan, atau karena Yosa yang seorang model papan atas tanah air. Bukan sama sekali. Gundah tanpa nama itu selalu saja mengiringi sejak Anya mulai mengikuti pergerakan Yosa sejak tadi pagi.

Getar ponsel yang diletakkan asal di meja rotan dekat jendela membuyarkan lamunan Anya. Nama Senopati berkedip beberapa kali ingin segera mendapat respon dari si empunya gawai. Mengerjap beberapa kali, Anya segera menjatuhkan pandangan pada benda pipih tersebut dan menggeser tombol berwarna hijau untuk mengangkat panggilan dari Seno.

"Ya hallo, Mas?" sapa Anya kikuk.

"Ha- hal- hallo, Reva." Andai saja Anya tahu bahwa pria yang sedang berbicara di seberang sana jauh lebih kikuk daripada dirinya.

"Iya, kenapa Mas?" mundur beberapa langkah, Anya mengambil tas slempangnya di atas meja rotan di sebelah pintu geser menuju balkon kamarnya.

"Tentang pengintaian Yosa hari ini, hmm—"

"Ah, yang itu," sela Anya mulai paham dengan arah pembicaraan lawan bicaranya. "Memang belum saya laporkan, Mas. Mau saya kumpulin dulu sampai akhir bulan ini. Nanti kalau sudah selesai akan saya kirimkan ke email Mas Seno," lanjut gadis itu sembari mengeluarkan kameranya. Memeriksa hasil jepretannya sambil menyalakan laptop di atas meja.

"Ahh, iya ... saya paham soal itu. Tapi," Seno menggantung kalimatnya. "Bukan itu yang ingin saya bicarakan." Pria rupawan itu menambahkan lagi

"Lalu?"

"Untuk laporan pertama nanti, bisakah kita bertemu secara langsung saja? Seperti kemarin lusa?"

Selama tiga bulan pekerjaan Anya, gadis itu memang menjanjikan dua hingga tiga kali memberi laporan perkembangan pada Seno. Namun bukan dengan cara bertemu langsung, melainkan secara daring melalui email yang akan Anya kirimkan langsung pada pria itu.

"Tapi, bukannya kemarin lusa kita sudah sepakat dengan email saja ya, Mas?" Anya mencoba mengingatkan. Bisa saja pria dengan segudang kesibukan itu lupa dengan kesepakatan mereka berdua kan?

"Hmm, iya benar, iya." Seno mengangguk kecil dari tempat tinggalnya. "Hanya saja ... saya rasa akan lebih efektif jika kita berdua bertemu secara langsung. Mengingat pekerjaan kamu kali ini menyangkut masa depan saya. Juga menyangkut nama besar keluarga yang saya emban."

Anya mengerutkan kening. Gerakan jemarinya yang sedang memindai beberapa hasil jepretannya ke laptop terhenti beberapa saat. "Tapi, Mas—"

"Oke, itu aja yang mau saya kasih tau. Sampai ketemu akhir bulan ini ya? Selamat malam, Reva," pungkas Seno bahkan sebelum mendengarkan jawaban dari gadis manis yang masih tertegun di ujung telepon.

"Selamat malam," lirih Anya sembari memandangi layar ponselnya yang sudah kembali gelap.

Tak mau ambil pusing dengan permintaan Seno, Anya kembali meletakkan dengan asal ponselnya di meja kecil sebelah laptopnya. Akan lebih baik melanjutkan pekerjaannya saja daripada memikirkan titah Seno yang ingin menemuinya lagi secara langsung. Anggap saja Anya akan memenuhi permintaan tersebut sebagai profesionalismenya dalam bekerja. Apalagi ia berniat 'berhenti' dari pekerjaannya sebagai penguntit setelah menyelesaikan misi dari trah Dwisastro ini.

Sweet StalkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang