"Keluarga atas nama pasien Endang Muchtar?" panggil salah satu dokter yang menangani ibunda Anya di ruang UGD.
"Iya saya, Dok. Saya anaknya Bu Endang," jawab Anya gegas menghampiri dokter tersebut.
"Keluarga yang lain?"
Anya menggeleng tegas. "Hanya saya, Dok. Nggak ada yang lain."
Dokter paruh baya dengan wajah tenang itu mengangguk sekali lantas mempersilakan Anya duduk di kursi di depan mejanya. Membuka beberapa lembar hasil pemeriksaan Endang, dokter itu menaikkan lagi kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya. Nampak serius sekali tatkala membaca hasil pemeriksaan sang pasien.
"Mama saya kenapa Dok?" tanya Anya tak sabaran.
"Dilihat dari hasil lab-nya kurang begitu bagus, hmm ... Bu Endang ada riwayat sakit jantung kan sebelumnya?"
Anya mengatupkan bibir sesaat, lantas mengangguk pelan. Bertahun-tahun silam, ibunya memang pernah bercerita kalau ia memiliki penyakit jantung. Sudah sangat sangat lama, bahkan tak pernah kambuh selama Anya membersamai beliau. Jelas saja Anya sedikit ragu untuk menjawab pertanyaan dokter tersebut.
"Mamanya juga sering sekali cepat merasa lelah kan?"
Anya mengangguk lagi. "Iya, karena itu saya membatasi kegiatan beliau. Bahkan kalaupun sedang bersemangat memasak, saya selalu menyediakan asisten rumah tangga untuk mengambil alih semuanya," lirih Anya lagi kini terlihat cemas sehingga memilin jemarinya di atas pangkuan.
"Meskipun tak pernah kambuh dan sudah berlalu tahunan silam, penyakit jantung tetap tidak bisa disepelekan." Anya mengangguk paham, karena itu ia memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan penjelasan sang dokter.
"Saya sarankan ibunya dirawat inap beberapa hari di sini ya."
Anya mengangguk patuh. "Siap,Dok. Lakukan apa saja yang terbaik buat mama saya."
"Akan saya rekomendasikan juga ke dokter kardiologi agar penanganannya lebih maksimal lagi."
Anya tak merespon apapun selain memberi anggukan tanda setuju. Bahkan sampai ia kembali ke sebelah ranjang sang ibu, gadis itu tak menyadari pipinya sudah basah karena sapuan air mata. Anya selalu menjelma menjadi sosok yang lemah tiap kali dihadapkan dengan kondisi renta sang ibu. Entah itu saat ibunya rutin menjalani terapi untuk depresi, atau bahkan saat ini, saat Anya dihadapkan dengan kenyataan baru kalau penyakit jantung sang ibu kembali menghampiri.
"Mama kuat ya, pasti kembali sehat ya," lirih Anya menggenggam salah satu telapak tangan sang ibu yang bebas dari jarum infus.
"Nyonya pasti kembali sehat, Mbak," sahut Bi Yarni yang sedari tadi juga tak menjauh dari ranjang rawat sang majikan.
Anya kembali mengangguk yakin. Ibunya sangat bugar dan ceria sebelumnya, sakit seperti ini pastilah mudah untuk dilalui perempuan paruh baya itu.
"Bi Yarni di sini sebentar ya, aku mau urus administrasi juga kamar rawat buat mama."
"Inggih, Mbak. Mbak Anya nggak perlu khawatir, saya di sini terus kok. Nggak akan pergi kemana-mana."
Tak butuh waktu lama untuk mengurus administrasi Endang. Anya yang sangat teliti dan rapi selalu membawa dompet khusus yang berisi dokumen-dokumen sang ibu, termasuk kartu asuransi kesehatan milih orang tuanya itu. Begitu selesai dengan urusan administrasi, Anya menyempatkan diri menuju cafetaria rumah sakit di belakang ruang pendaftaran.
Gadis itu merasa butuh segelas kopi panas untuk menjernihkan pikirannya yang mendadak rumit. Tak lupa juga ia membeli teh hangat untuk Bi Yarni dan Pak Parmin yang ikut ia repotkan saat membopong sang ibu hingga rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Stalker
RomansaAnya, gadis cantik yang punya pekerjaan rahasia sebagai penguntit profesional harus menerima takdirnya ketika tanpa rencana hatinya tertaut pada Senopati Rajata. Clientnya sendiri. Senopati, seorang playboy kelas kakap dan kaya raya dari trah Dwisas...