Aroma khas bercinta masih terasa di kamar yang jendela kacanya masih tertutup tirai. Dua pasang manusia di atas ranjang masih saling berpelukan di bawah selimut. Mengabaikan sinar matahari yang menyusup, memberi terang di tiap celah sudut kamar.
"Nold," lirih Clara dengan mata yang masih terpejam erat. Dia masih nyaman tertidur berbantal lengan kekar Arnold. Namun, perutnya tiba-tiba memberontak meminta diisi. Padahal dia masih sangat malas untuk sekedar bangun.
"Hm," Arnold hanya menggumam.
"Kamu bangun, gih. Aku lapar."
Senyum Arnold terulas mendengar ucapan Clara. Matanya yang terpejam perlahan terbuka. "Oke, aku buatkan kamu sarapan. Kamu mau makan apa?" tanya Arnold dengan suara yang masih terdengar serak.
"Apa aja asal bikinnya nggak lama."
Dengan pelan Arnold memindahkan kepala Clara dari atas lengannya, dia lantas bangkit perlahan dan beringsut duduk. Lelaki bermata biru itu menggerakkan kepalanya yang terasa pegal, lalu memutar sebelah lengannya yang terasa kaku, sebelum beranjak berdiri.
"Astaga, Arnold! kamu nggak berniat bikin sarapan tanpa mengenakan apa pun kan?" pekik Clara menutup rapat kembali matanya.
Arnold terkekeh. "Apa kamu mau aku begitu?"
"Enggak!" seru Clara. "Cepat, pake baju kamu."
Arnold kembali terkekeh seraya mencari ke mana boxernya terlempar. Dia menemukannya berada di ujung tempat tidur, lalu mengenakannya.
"Kamu nggak mau bangun dan menemaniku ke dapur?" tanya Arnold sebelum beranjak keluar dari kamar.
"Hu-um, aku nanti menyusul."
Clara baru bergerak turun dari ranjang setelah Arnold pergi. Dia memandang gaunnya yang teronggok tak berdaya di bawah tempat tidur. Rasanya nggak mungkin jika dia mengenakannya lagi. Dengan pelan kakinya dia seret memasuki walk in closet. Di sana tangannya menyisir kemeja-kemeja lengan panjang milik Arnold yang menggantung. Lalu dia memilih satu kemeja berwarna putih.
Berdiri di depan cermin, Clara melihat pantulan dirinya di sana. Badannya tenggelam di balik kemeja putih itu. Namun, terlihat seksi.
Ada wangi margarin yang tercium ketika Clara membuka pintu. Dia berjalan dengan kaki telanjang menemui Arnold yang tampak sibuk di depan kompor.
"Kamu bikin apa, sih? Wangi banget," tanya Clara dengan kepala terjulur mengintip apa yang sedang Arnold masak.
"Roti panggang margarin. Aku nggak punya toaster, jadi aku memanggangnya dengan teflon. Mau telur mata sapi juga enggak?" tanya Arnold seraya meniriskan lembar roti yang sudah matang.
"Boleh. Tapi yang matanya tepat di tengah, ya," sahut Clara lantas beranjak duduk di atas bar stool.
"Itu sulit, Nona. Tapi akan aku usahakan."
Dari tempatnya Clara memperhatikan bagaimana lelaki bermata biru itu memecah telor dan menuangnya ke atas teflon berukuran kecil. Dengan spatulanya, dia menahan agar kuning telur tetap berada di tengah. Tangan lainnya menabur lada dan garam di atas permukaan telur. Usahanya itu sukses menghasilkan telur mata sapi yang sempurna.
Dia mendapat tepuk tangan dari Clara. "Good job! Aku selalu gagal membuat telur mata sapi yang sempurna seperti itu."
"Mau aku ajari?"
"Mau, tapi lain kali saja. Sekarang perutku sangat lapar."
Empat lembar roti bakar margarin dan dua telur mata sapi tersaji di depan Clara. Perut wanita itu makin keroncongan melihat menu sederhana namun tampak nikmat itu.
Ada dua cangkir teh hangat yang Arnold seduh sebagai teman sarapan pagi.
"Kalau masih lapar bilang, aku akan membuatnya lagi."
Clara tersenyum sembari meraih satu lembar roti dan meletakkan satu telur mata sapi di atasnya. "Ini udah cukup kok."
Sejenak hening menjeda. Keduanya fokus menikmati makan pagi sederhana yang Arnold buat.
"Udah merasa baikan?" tanya Arnold setelah dia berhasil menghabiskan satu lembar roti. Tangannya terulur menggapai cangkir teh.
Clara mengangguk, menusuk potongan roti dan menyuapnya ke mulut.
"Nggak ada gunanya aku bersedih kan? Ya udah, anggap aja aku dan Alian nggak berjodoh."
"Baguslah kalau kamu sadar. Lagian daripada menangisi pria kurang ajar seperti itu, mending having fun sama aku," ujar Arnold tersenyum lebar.
Clara tertegun sesaat melihat senyum itu. Hatinya sedikit terusik. Entah kenapa dia merasa tak nyaman saat Arnold mengucapkan kata-kata terakhirnya. Having fun. Sejak awal bukannya dia paham akan hal itu. Hubungannya dengan Arnold hanya having fun semata, tapi kenapa mendadak kata itu mengganggunya?
Clara merasa kesulitan menelan potongan roti. Dia segera meraih cangkir teh dan menyeruputnya. Namun, rasa panas tiba-tiba menyengat dan secara refleks dia melepas cangkir itu hingga isinya berceceran ke atas meja.
"Clara, hati-hati. Tehnya masih panas." Arnold panik, dan segera meraih tangan Clara yang juga sedikit terkena siraman air teh itu. "Kamu nggak apa-apa? Sebentar aku ambil krim pereda panas." Pria itu turun dari stool dan segera mencari krim pereda panas di dalam kotak obat.
"Sini tangan kamu," ujar Arnold kembali setelah menemukan krim tersebut. Dia meniup punggung tangan Clara sebelum mengoleskan krim di sana. Dia lalu meniupnya lagi dengan lebih lembut.
Clara yang sedari tadi memperhatikan apa yang pria itu lakukan menarik tangannya segera. Terang saja hal itu membuat Arnold terkejut.
"Jangan terlalu baik padaku," ucap Clara tiba-tiba. "Semua yang kita lakukan hanya sekedar having fun. Aku nggak mau sikap baikmu mengubah segalanya." Clara turun dari stool dan melangkah.
"Clara kamu kenapa?" tanya Arnold bingung dengan perubahan sikap Clara yang tiba-tiba.
Clara berhenti berjalan dan menarik napas dalam. "Mulai sekarang sebaiknya jauhi aku," ucapnya lagi sebelum kembali berjalan menuju kamar. Yang ada di kepalanya sekarang adalah segera enyah dari apartemen Arnold, lalu menghindari pria itu sejauh mungkin.
Halo, Hay! Berhubung Ribel-Andini bentar lagi bakal aku tamatin, jadi aku spill cerita baru buat gantiin mereka. Sebenarnya nggak bisa terganti sih.
Ada yang ingat Clara dan Arnold?
Test Drive aja sih, kalau rame aku lanjut. Kalau enggak ya ... Dadah babay ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Arnold! (END)
RomanceSEBELUM BACA WAJIB FOLLOW AUTHORNYA DULU WARNING 21+ (BIJAKLAH DALAM MEMILIH BACAAN) Patah hati membuat Clara kehilangan kewarasan. Ah, tidak. Bukan hanya saat patah hati, tapi dia memang sudah tidak waras sejak bertemu dengan Arnold, pria yang di...